![]() |
Bayang Kapur : Imajinasi oleh AI. |
Di balik tirai jendela kelas, bukan lagi sekadar mimpi sederhana,
Melainkan hitungan jam mengajar, daftar tuntutan yang tak ada habisnya.
Suara bel yang dulu sakral, kini bergaung, memanggil guru-guru,
Bukan hanya pada tugas mendidik, tapi pada roda birokrasi yang terus berputar.
Pena yang dulu menari di atas kertas, kini menulis laporan-laporan,
Menjelaskan angka-angka, statistik, demi akreditasi, demi citra.
Inilah cerita, dari ruang-ruang rapat berpendingin dan meja-meja guru yang berantakan,
Tentang sekolah, yang sering lupa pada hati, dan memilih jadi pabrik.
Selamat datang, di antara idealisme dan realita.
Selamat datang, di Bayang Kapur di Papan Transaksi.
Sajak: Bayang Kapur di Papan Transaksi
Di antara dengung bel dan deru langkah kaki,
Sekolah, bukan lagi sekadar rahim ilmu.
Ia menjelma institusi,
Tempat visi tergerus birokrasi,
Dan idealism guru terpangkas di altar kebijakan.
Program-program atas nama mutu pendidikan,
Templat-templat indah di meja rapat,
Sesungguhnya panggung para penyusun anggaran,
Dan penanda tangan proyek.
Kepala sekolah yang konon berkhidmat,
Hanyalah operator rapi mesin administrasi.
Senyum simpul di bibir mereka,
Kode rahasia memo dan surat edaran dalam berkas.
Dana, yang mestinya memupuk bakat guru,
Menguap entah ke pos mana,
Menyisakan janji manis dan laporan kinerja,
Tebalnya mengalahkan kamus.
Buku-buku panduan atas nama inovasi,
Dicetak tebal, halaman-halaman mestinya inspirasi,
Nyatanya tak lebih dari tumpukan wajib baca.
Isinya padat, aplikasinya rumit,
Seolah kertas-kertas itu ladang subur,
Bagi tangan tak terlihat, lihai menyusun regulasi.
Ilmu, yang seharusnya mengalir bebas dari pengajar,
Kini terkotak-kotak dalam modul berbayar,
Dibungkus rapi dalam sampul-sampul kusam, berlabel 'kurikulum baru'.
Pada sobekan-sobekan jas atau batik yang lusuh,
Kerah-kerah menguning, kantong pulpen terkoyak,
Terukir kisah-kisah tanpa suara.
Ada yang sobek karena lelah mengajar dari pagi hingga senja,
Ada pula yang koyak, bergesekan tuntutan administrasi.
Namun di balik seragam profesi itu,
Ada pula yang sengaja mencipta celah,
Tanda pemberontakan kecil tak terdengar,
Atau sekadar ingin tampil beda, di tengah keseragaman paksa.
Dan remahan biskuit di meja guru,
Berserakan di antara tumpukan soal dan rencana pembelajaran,
Saksi bisu dari hiruk-pikuk kehidupan.
Tiap remahan, sisa energi terkuras,
Entah untuk menjelaskan materi yang tak dimengerti,
Atau untuk menyusun strategi, agar nilainya bagus di supervisi.
Namun di antara remahan itu,
Ada yang jatuh dari tangan-tangan lelah tak peduli,
Sebab mereka sibuk menghitung berapa jam pelajaran tersisa,
Atau berapa banyak rapat yang harus dihadiri, esok hari.
Sekolah, duhai sekolah, kau adalah ironi.
Kau menggembar-gemborkan kemajuan,
Namun seringkali membelenggu kreativitas.
Kau mengajarkan pengabdian,
Namun menyuburkan kelelahan dan tuntutan tanpa henti.
Di antara dindingmu yang kokoh,
Tumbuhlah tunas-tunas pengajar yang lihai beradaptasi,
Bukan hanya pada metode ajar terbaru,
Tetapi juga pada sistem yang kian kompleks.
Betapa ironisnya!
Bel akhir telah berbunyi, mengikis sisa-sisa hari,
Namun gema tuntutan tak kunjung mati.
Di ruang guru, tumpukan berkas membeku,
Membawa kisah beban, bukan hanya pikiran, tapi juga waktu.
Jas-jas dan batik-batik tergantung di gantungan,
Menyimpan jejak keringat, dan bisa jadi, sedikit kekecewaan.
Buku-buku panduan usang menumpuk, mungkin tak lagi diresapi, Sebab esensi ilmu, telah lama bertransformasi jadi data.
Maka pulanglah, para pendidik yang tak kenal lelah,
Membawa semangat yang sedikit meredup, namun kewajiban yang tetap mengejar.
Esok, mentari akan kembali bersinar,
Dan drama ini, akan berulang, di antara dinding-dinding yang sama.
Sampai kapan, sekolah hanya jadi entitas birokratis,
Dan bukan lagi rahim yang mengasuh kebijaksanaan?
Pertanyaan itu, terukir di udara, diiringi keheningan malam,
Menanti jawab, di Bayang Kapur di Papan Transaksi yang tak pernah sepi.
Buku-buku panduan usang menumpuk, mungkin tak lagi diresapi, Sebab esensi ilmu, telah lama bertransformasi jadi data.
Maka pulanglah, para pendidik yang tak kenal lelah,
Membawa semangat yang sedikit meredup, namun kewajiban yang tetap mengejar.
Esok, mentari akan kembali bersinar,
Dan drama ini, akan berulang, di antara dinding-dinding yang sama.
Sampai kapan, sekolah hanya jadi entitas birokratis,
Dan bukan lagi rahim yang mengasuh kebijaksanaan?
Pertanyaan itu, terukir di udara, diiringi keheningan malam,
Menanti jawab, di Bayang Kapur di Papan Transaksi yang tak pernah sepi.
Tags:
Prosa dan Puisi