![]() |
Ilustrasi : Sengkarut Senja di Hati Sengkuni : Dok. Pribadi. |
Prolog: Bayangan di Sudut Hati
Di antara gemuruh intrik dan bisikan strategi licik yang
senantiasa memenuhi lorong-lorong istana Astina, Sengkuni adalah nama yang
diucapkan dengan campuran rasa takut dan jijik. Ia adalah arsitek dari segala
muslihat, dalang di balik setiap tipu daya yang mengerikan. Setiap senyumnya
menyimpan ribuan arti, setiap kata-katanya adalah jaring yang siap memerangkap.
Namun, di balik topeng kelicikan yang sempurna itu, jauh di sudut hati yang
paling kelam, ada seberkas cahaya yang jarang tersentuh. Sebuah benih
ketulusan, yang entah mengapa, tak pernah benar-benar mati. Ia hidup,
tersembunyi, menanti waktu untuk menampakkan diri, bahkan jika itu berarti
harus merobohkan benteng pertahanan yang telah ia bangun selama puluhan tahun.
Dan benih itu, suatu hari, mulai merajut kisahnya dengan kehadiran seseorang
yang tak pernah ia duga.
***
Senja merayap malu di langit Astina, mewarnai awan dengan
gradasi jingga dan ungu, serupa lukisan dewa yang tengah berkhayal. Di taman
belakang istana, di bangku kayu yang sedikit lapuk, duduklah Sengkuni.
Biasanya, di jam-jam seperti ini, otaknya akan dipenuhi kalkulasi licik,
rencana menjatuhkan Pandawa, atau minimal, cara mengakali para pedagang yang
datang ke istana. Namun senja kali ini berbeda. Pikiran Sengkuni tertambat pada
sepasang mata yang teduh, selembut embun pagi di kelopak melati.
Dewi Puspa. Nama itu bagai mantra yang berulang kali terucap
dalam sunyi hatinya yang selama ini terasa gersang. Ia, Sengkuni, paman Raja
Dhritarashtra yang dikenal dengan lidah setajam pedang dan akal sebusuk
bangkai, kini terperangkap dalam jaring asmara yang tak pernah ia duga.
Awalnya, ia mendekati Puspa dengan tipu daya. Mengamati
gerak-geriknya bagai memetakan medan perang. Mencari kelemahannya, layaknya
mencari celah dalam pertahanan musuh. Namun, semakin ia dekat, semakin ia
melihat lebih dari sekadar bidak yang bisa dimanfaatkan. Ada kebaikan terpancar
dari senyumnya, ketulusan dalam setiap kata yang terucap, dan kepolosan yang
justru membuatnya merasa... bersalah.
Kalung bercakar elang yang pernah ia berikan, dengan maksud
terselubung agar Puspa memiliki sedikit "ketajaman" ala dirinya, kini
terasa bagai beban di hatinya. Ia ingat bagaimana mata Puspa berbinar menerima
hadiah itu, tanpa sedikit pun curiga akan makna ganda di baliknya. Ia ingat
bagaimana Puspa dengan polosnya bertanya tentang filosofi di balik bentuk cakar
elang, dan ia, dengan kepiawaian seorang manipulator, merangkai kata-kata indah
tentang kekuatan dan perlindungan.
Kencan di gua terpencil itu pun kembali berputar dalam
benaknya. Alih-alih merayu dengan kata-kata mesra, ia malah bercerita tentang
ambisi politiknya, tentang bagaimana Astina harus menjadi pusat kekuatan. Ia
melihat Puspa mendengarkannya dengan saksama, sesekali mengajukan pertanyaan
sederhana namun menunjukkan ketertarikan. Saat itu, untuk pertama kalinya,
Sengkuni merasa dilihat bukan hanya sebagai paman raja yang licik, melainkan
sebagai seorang... pria dengan visi.
Namun, kebahagiaan semu ini selalu dihantui bayang-bayang
dirinya yang sebenarnya. Ia tahu, ia tidak pantas untuk kebaikan dan ketulusan
Puspa.. Bisakah seseorang yang adalah perwujudan dari kelicikan itu menemukan
cinta sejati dan kebahagiaan yang tulus?. Rasa takut menghantuinya. Takut jika
suatu saat Puspa akan melihat topeng kepura-puraannya terbuka, dan menemukan
wajah asli Sengkuni
yang penuh intrik licik dan kejahatan.
Suatu sore, saat mereka kembali bertemu di taman, di bawah
naungan pohon beringin yang rindang, Puspa menatapnya dengan mata yang dalam.
"Paman," katanya lembut, "ada sesuatu yang ingin aku
tanyakan." Jantung Sengkuni berdebar tak karuan. Inikah saatnya? Pikirnya.
Inikah saat kedoknya akan terbongkar?
"Apa itu, Puspa?" Suaranya terdengar sedikit
bergetar, sesuatu yang jarang terjadi pada seorang Sengkuni.
"Paman selalu bercerita tentang kejayaan Astina,
tentang strategi dan kekuasaan. Tapi... pernahkah Paman bercerita tentang...
kebahagiaan?"
Pertanyaan sederhana itu menghantam Sengkuni bagai palu
godam. Kebahagiaan? Kata itu terasa asing di lidahnya, sesuatu yang tak pernah
ia perjuangkan, bahkan tak pernah ia pikirkan untuk dirinya sendiri. Selama
ini, hidupnya hanya diisi oleh ambisi dan intrik.
Ia terdiam cukup lama, menatap garis-garis senja yang
semakin memudar di langit. Ia melihat bayangannya di kolam kecil di dekatnya,
sosok yang tampak tua dan penuh beban, meskipun usianya belum terlalu senja.
"Kebahagiaan, Puspa," akhirnya ia berucap dengan
suara parau. "Bagiku... mungkin adalah melihat Astina berjaya. Melihat
musuh-musuh kita tunduk."
Puspa tersenyum tipis, senyum yang tidak menghakimi, namun
penuh pengertian. "Mungkin ada kebahagiaan lain, Paman. Yang lebih
sederhana. Yang bisa dirasakan di sini, di hati."
Kata-kata Puspa bagai oase di tengah gurun hatinya. Untuk
sesaat, Sengkuni membayangkan sebuah dunia di mana ia bisa berbahagia bukan
karena menaklukkan atau mengakali, melainkan karena berbagi ketulusan dengan
seseorang seperti Puspa.
Namun, bayangan itu segera sirna. Sengkuni terlalu lama
hidup dalam kegelapan. Ia tidak yakin apakah hatinya masih mampu menerima
cahaya. Ia adalah Sengkuni, олицетворение kelicikan. Bisakah seorang олицетворение
kelicikan menemukan cinta sejati dan kebahagiaan yang tulus?
Senja semakin larut. Angin malam mulai berhembus dingin.
Sengkuni berdiri, memandang Puspa dengan sorot mata yang sulit diartikan.
"Mungkin... suatu hari nanti, Puspa. Mungkin suatu hari nanti aku akan
mengerti."
Ia berbalik, meninggalkan Puspa yang menatap punggungnya
dengan tatapan penuh harap dan sedikit kekecewaan. Sengkuni melangkah menjauhi
kehangatan yang sempat ia rasakan, kembali menuju kegelapan istana, tempat
intrik dan ambisi menantinya. Namun, di sudut hatinya yang paling tersembunyi,
secercah harapan mulai tumbuh. Harapan bahwa mungkin, suatu hari nanti, senja
di hatinya akan seindah senja di langit Astina. Dan mungkin, hanya mungkin,
Dewi Puspa adalah warna yang selama ini hilang dalam lukisan hidupnya yang
kelabu.
Senja kembali menyelimuti Astina, kali ini dengan rona yang lebih kelam, seolah turut berduka atas segala yang telah terjadi. Perang Baratayuda telah usai, membawa serta kehancuran dan penyesalan yang tak terhingga. Sengkuni, yang selama ini menjadi poros intrik, kini terbaring lemah, nafasnya terputus-putus. Dalam detik-detik terakhir hidupnya, bukan ambisi atau penyesalan akan kekalahan yang memenuhi benaknya. Melainkan, sepasang mata teduh milik Dewi Puspa. Ia ingat senyum polos itu, pertanyaan-pertanyaan lugu tentang kebahagiaan, dan tatapan tanpa prasangka yang pernah diberikan Puspa padanya.
Dalam batin Sengkuni, sebuah pengakuan pahit menyeruak:
bahwa di antara segala kelicikan dan rencana jahatnya, Puspa adalah
satu-satunya kebenaran, satu-satunya keindahan yang pernah ia sentuh. Ketulusan
yang ia tunjukkan pada Puspa, meskipun berbalut strategi, adalah refleksi dari
secuil kebaikan yang masih tersisa dalam dirinya. Mungkin, cinta bukanlah alat,
melainkan sebuah cermin yang menunjukkan siapa dirinya seutuhnya. Dan dalam
pantulan cermin itu, Sengkuni akhirnya melihat, bukan hanya manipulator ulung,
tetapi juga seorang pria yang, di akhir hayatnya, pernah merasakan sentuhan
ketulusan dan kebaikan yang tulus, meskipun terlalu terlambat untuk mengubah
takdirnya sendiri. Angin malam berhembus, membawa pergi nafas terakhirnya,
menyisakan misteri tentang hati Sengkuni yang tak pernah benar-benar bisa
dipahami oleh siapa pun.