![]() |
Sumber : Hasil Imajinasi dengan AI Generate. |
Senja itu, cahaya keemasan yang lembut mulai menyelimuti
kedai, menembus jendela yang berembun dan melukis pola-pola hangat di lantai
kayu yang usang. Sebuah novel klasik tergeletak di salah satu meja,
ditinggalkan mungkin oleh seorang perenung yang mencari inspirasi. Dentingan
sendok beradu dengan cangkir, disusul percakapan samar yang mengalir bagai
melodi pengiring. Lalu, ia tiba. Bukan dengan langkah tergesa, melainkan dengan
aura tenang yang seolah menarik perhatian setiap pasang mata, namun tak ada yang
menyadari. Rambutnya yang gelap berayun pelan mengikuti gerak, dan sorot
matanya tajam namun menyimpan seribu tanya.
Ia memilih meja di sudut, dekat jendela berembun yang
menampilkan rintik hujan yang baru saja mereda. Seolah ada benang tak terlihat
yang menariknya ke sana, ke tempat di mana cangkirku mengepul, uapnya
menari-nari di antara kami. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirku,
menyambut pertemuan yang tak terduga ini. Bukan janji yang terucap, melainkan
sebuah pengakuan yang tersimpan dalam keheningan yang nyaman.
Dan kemudian, mataku menangkap detail yang tak mungkin
salah: garis rahang itu, lengkung bibirnya, bahkan cara ia menggenggam tasnya.
Jantungku berdesir, seolah melompat dari sangkar. Ia adalah perempuan cantik
dari masa laluku, sebuah bayangan yang kupikir telah memudar bersama waktu,
kini nyata di hadapanku. Ada sekelebat keraguan di matanya saat ia menangkap
pandanganku, namun tak ada keterkejutan. Seolah ia memang tahu akan menemuiku.
Tangannya bergerak ke saku, mengeluarkan sepucuk amplop
putih polos yang sedikit terlipat. Dingin. Raut wajahnya tak terbaca, seolah
menyimpan kabar yang entah baik atau buruk, namun pasti akan mengubah
segalanya. Aroma kopi robusta di udara terasa semakin pekat, bercampur dengan
kegelisahan yang tiba-tiba menyesaki ruang.
Di luar jendela, senja yang baru lepas dari guyuran hujan
memancarkan keindahan yang melankolis. Langit di barat diwarnai gradasi ungu,
jingga, dan merah muda, sementara di timur, awan-awan kelabu masih setia
menggantung. Udara dingin yang sejuk setelah hujan terasa menyegarkan, membawa
aroma tanah basah dan kesegaran dedaunan yang baru tercuci. Lampu-lampu jalan
mulai berpijar satu per satu, mengiringi bintang-bintang pertama yang muncul
malu-malu. Di dalam kedai, lampu gantung yang remang menambah kesan intim,
menciptakan bayangan panjang yang menari-nari.
Dalam keheningan yang syahdu itu, tangannya yang ramping
meletakkan amplop di atas meja, tepat di antara cangkir kopi kami yang kini
sudah mendingin. Sebuah titisan air hujan masih melekat di ujung rambutnya,
memancarkan kilau kecil yang kontras dengan ketenangan wajahnya. Aku menatap
amplop itu, lalu beralih pada matanya, mencari petunjuk. Namun hanya ada
kedalaman yang sulit kupahami, seperti lautan yang menyimpan banyak rahasia.
Senja itu, di Kedai Kopi Ujung Jalan, di tengah nyanyian jangkrik yang mulai
terdengar, takdir kami seolah berada di ambang keputusan. Setiap detik terasa
melar, menunggu sebuah kalimat, sebuah isyarat, yang akan mengungkap apa
gerangan kabar yang ia bawa dari masa lalu.
Senja benar-benar telah larut. Di luar, lampu-lampu kota
kini berpijar penuh, membentuk untaian permata di kejauhan. Kedai Kopi Ujung
Jalan mulai mengosong, hanya menyisakan aroma kopi yang menghantui dan
dentingan terakhir dari mesin penggiling. Aku masih di sana, di meja yang sama,
menatap kosong ke arah pintu yang baru saja tertutup di belakangnya. Amplop
putih itu masih tergeletak di hadapanku, tak tersentuh. Dinginnya kertas itu
seolah menular, merayapi jari-jariku, lalu ke seluruh relung hati.
Aku tahu apa yang ada di dalamnya, atau setidaknya, aku
punya dugaan. Atau mungkin, justru itulah yang paling mengerikan: aku tak tahu
sama sekali, dan setiap skenario yang kubayangkan terasa sama mungkinnya, sama
mencekamnya. Perempuan dari masa lalu itu datang membawa kabar, kabar yang
entah kenapa, tak sanggup kuungkap, bahkan untuk diriku sendiri. Malam itu, di
bawah temaram lampu kedai, dan di antara sisa-sisa aroma robusta, aku
membiarkan diriku tenggelam dalam ketidaktahuan. Mungkin, memang itulah satu-satunya
cara untuk menghadapi kabar yang entah apa itu. Biarkan ia tetap menjadi
misteri, setidaknya untuk malam ini.
https://www.kompasiana.com/agus55303/686d029734777c66e52bd1e2/kedai-kopi-ujung-jalan
Menarik, salam sehat
BalasHapusSalam sehat
Hapus