Demi Cinta, Kau Gantungkan Mukenamu

Ilustrasi : Ambar, Kau Gantungkan Mukenamu. 

Di antara gemerlap lampu kota Surabaya dan dinginnya keramik masjid di sudut gang, terjalinlah sebuah kisah tentang pilihan dan pengorbanan. Ambar, seorang perempuan yang tumbuh dalam kehangatan tradisi dan gemuruh panggilan iman, harus berdiri di persimpangan dua hati. Satu menawarkan cinta yang membara namun berbeda, yang lain menyuguhkan ketenangan jiwa dalam kesamaan. Inilah fragmen kehidupannya, saat sebuah mukena putih menjadi saksi bisu pergolakan batin yang mengguncang fondasi kepercayaannya. Demi cinta, ia memilih untuk menggantungkannya, sebuah simbol dari pilihan yang akan merajut takdirnya dengan benang-benang penyesalan dan kerinduan.

Angin malam Surabaya menyentuh lembut tirai jendela kamar Ambar, namun hatinya terasa membeku. Di atas ranjang, tergeletak sehelai mukena putih, belum terlipat sempurna, seolah menanti untuk digunakan. Namun, Ambar hanya menatapnya dengan nanar. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, panggilan untuk menghadap Sang Pencipta terasa begitu jauh, tertutup oleh riuh rendah suara Evan dalam benaknya.

Sebuah sorot cahaya rembulan menembus jendela, jatuh di lantai kayu kamar. Di sana, seorang perempuan duduk bersimpuh, punggungnya sedikit membungkuk. Rambutnya yang hitam legam, sebahu dan sedikit bergelombang, jatuh membingkai wajahnya yang putih bersih. Matanya yang bening, biasanya memancarkan keteduhan, kini diliputi keraguan yang mendalam. Di sudut mata kanannya, sebutir air mata berkilau, memantulkan cahaya redup, siap jatuh menuruni pipinya.

Di pangkuannya, tergeletak mukena putih miliknya. Kain itu tidak terlipat rapi, sedikit kusut, seolah baru saja dilepas terburu-buru atau mungkin belum sempat digunakan. Tangannya yang lentik memegang erat salah satu sudut mukena, jari-jarinya sedikit memutih karena tekanan. Tatapannya tertuju pada kain suci itu, namun pandangannya kosong, menembus material kain, seolah mencari jawaban atas pergolakan batinnya. Ada jejak kelelahan dan kebingungan yang nyata tergambar di sana, memunculkan pertanyaan: apa yang membuatnya begitu ragu?

Evan. Nama itu bagai mantra yang membius setiap sel dalam tubuhnya. Pertemuan mereka bagai sambaran petir di siang bolong. Dunia Ambar yang tenang dan teratur tiba-tiba dipenuhi warna-warni baru, getaran-getaran asing yang membuatnya merasa hidup sepenuhnya. Evan, dengan latar belakang budaya dan keyakinan yang berbeda, menawarkan petualangan, kebebasan, dan cinta yang begitu memabukkan. Tawa renyahnya, tatapan matanya yang teduh, sentuhan tangannya yang hangat – semuanya telah merenggut Ambar dari dunianya yang dulu.

Namun, di sudut hatinya yang paling dalam, suara lain berbisik. Suara itu adalah gema dari masa lalu, suara Bagus. Ambar mengingat jelas bagaimana dulu ia merasa damai berada di samping Bagus. Lelaki itu, dengan kesederhanaan dan ketaatannya, telah menorehkan jejak yang tak mungkin terhapus. Ia ingat bagaimana khusyuknya Bagus saat memimpin shalat, bagaimana teduhnya doanya, dan bagaimana cintanya yang tulus mengalir tanpa syarat.

Perang batin Ambar berkecamuk hebat. Di satu sisi, ada Evan dengan segala pesonanya yang duniawi, yang membangkitkan hasrat dan keinginan untuk menjelajahi hal-hal baru. Di sisi lain, ada Bagus, representasi dari nilai-nilai yang selama ini ia pegang teguh, cinta yang menenangkan jiwa dan mendekatkannya pada Sang Khalik. Setiap kali ia mencoba meraih mukenanya, bayangan Evan melintas, membisikkan janji-janji kebahagiaan dan petualangan. Setiap kali ia menepis bayangan itu, wajah tulus Bagus hadir, mengingatkannya pada kedamaian yang pernah ia rasakan.

Ia tahu, mencintai Evan berarti menentang banyak hal: keluarga, tradisi, dan mungkin yang terberat, keyakinannya sendiri. Namun, kekuatan cinta Evan begitu dahsyat, membutakan hatinya dari segala pertimbangan logis. Ia merasa, tanpa Evan, hidupnya akan hampa, kehilangan arah. Ketakutan akan kehilangan Evan jauh lebih besar daripada ketakutan akan konsekuensi dari pilihannya.

Maka, malam itu, dengan hati yang berat namun dengan tekad yang bulat, Ambar mengambil mukena putih itu. Bukan untuk dikenakan, melainkan untuk dilipat dengan rapi dan disimpan jauh di dalam lemari. Sebuah simbol dari babak baru dalam hidupnya, babak di mana cinta pada seorang lelaki telah mengalahkan segalanya. Ia memilih Evan, dengan segala perbedaan dan konsekuensinya, dan untuk saat ini, ia membiarkan panggilan imannya tertidur lelap.

Waktu terus bergulir, membawa Ambar dan Evan menjalani hari-hari bersama. Ada tawa, kebahagiaan, namun tak jarang pula gesekan akibat perbedaan yang tak terhindarkan. Di tengah hiruk pikuk kehidupannya bersama Evan, sesekali Ambar mendapati dirinya merindukan ketenangan yang dulu ia rasakan. Ia akan termenung, menatap langit Surabaya, dan tanpa sadar, hatinya akan melayangkan doa-doa yang dulu rutin ia panjatkan. Mukena putih itu masih tersimpan rapi di lemari, menjadi pengingat bisu akan sebuah pilihan dan sebuah pengorbanan. Apakah Ambar akan menemukan jalan kembali pada mukenanya, ataukah ia akan terus berjalan di jalan yang telah ia pilih, hanya waktu yang akan menjawabnya. Namun, satu hal yang pasti, jejak Bagus akan selalu terukir di sudut hatinya, sebagai penanda bahwa pernah ada cinta yang menuntunnya pada kedamaian sejati.

Admin usudo.id

Tulisan di Blog ini adalah Kumpulan Tulisan saya , baik yang pernah dipublikasikan di Media Online maupun yang saya upload hanya di sini

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama