![]() |
DJ Bagong Sound Horeg. |
Desa Karang Kedempel yang damai, tersembunyi di antara sawah menghijau dan rimbunnya pohon bambu, di mana suara jangkrik dan gemericik air sungai menjadi melodi sehari-hari, sebuah fenomena baru mulai mengguncang ketenangan: sound horeg. Bukan sembarang suara, melainkan dentuman bas yang menggetarkan jendela rumah, melodi sintetis yang memecah keheningan malam, dan vokal yang di-autotune hingga membuat ayam tetangga ikut berkokok tak karuan. Dan di tengah hiruk pikuk yang tak lazim ini, muncullah sesosok warga desa yang tak terduga menjadi pelopornya: Bagong.
Bagong, si anak Pak Lurah Semar yang lebih akrab dengan
lumpur sawah dan candaan bersama teman-teman di pos ronda, awalnya lebih
familiar dengan alunan gamelan karawitan yang sesekali terdengar dari balai
desa. Namun, sejak kedatangan rombongan orkes dangdut keliling dengan sound
system super besar beberapa waktu lalu, Bagong menemukan passion
baru. Ia, yang awalnya hanya iseng membantu mengangkat speaker, kini
menjadi otak di balik set DJ paling menggelegar se-Karang
Kedempel.
Awalnya, para tetangga menggeleng-gelengkan kepala.
"Wah, Bagong ini kenapa? Kok malah asyik dengan suara bising begitu?"
bisik Bu Parmi, sambil menutup telinganya saat Bagong mengetes sound system
di halaman rumahnya. Namun, Bagong tak ambil pusing. Dengan senyum lebarnya, ia
selalu menjawab, "Tenang, Bu! Ini namanya hiburan masa kini! Biar desa
kita juga ikut kekinian!"
Dan benar saja. Malam-malam "Horeg Night" yang
diadakan Bagong di lapangan desa selalu dipenuhi warga. Dari anak-anak muda
yang sudah khatam dengan TikTok, sampai bapak-bapak yang awalnya cuma penasaran
akhirnya ikut berjoget dengan semangat. Bahkan, Mbah Karto, sesepuh desa yang
terkenal pendiam, dikabarkan ikut menggoyangkan tongkatnya mengikuti irama.
Puncak "karier" Bagong terjadi saat ia mengisi
acara Agustusan desa. Bukan lagi orkes dangdut biasa, melainkan battle sound
antara sound system-nya dengan sound system desa tetangga. Malam
itu, Karang Kedempel bergetar hebat. Dentuman bas seolah mengguncang fondasi
rumah, lampu warna-warni menari-nari di langit, dan sorak sorai penonton
memecah keheningan malam. Bahkan, tak jarang dentuman horeg ini merontokkan
bangunan lapuk dan kaca-kaca rapuh. Anehnya, justru semakin banyak yang
berkeping, semakin "horeg" terasa, semakin "oke" pula
suasana. Bagong, dengan lincah memainkan mixer-nya, menjadi bintang
utama.
Tak hanya musik, Bagong juga menciptakan tren baru di
kalangan pemuda desa. Kaos oblong bergambar equalizer dan topi dengan
tulisan "Karang Kedempel Horeg" menjadi buruan. "Ini identitas
kita, Mas!" katanya bangga kepada Kepala Desa yang diam-diam juga mulai
menyukai beat horeg.
Tentu saja, tidak semua suka dengan "ulah" Bagong.
Beberapa warga yang lebih tua mengeluhkan kebisingan dan kerusakan kecil yang
ditimbulkan. Namun, Bagong selalu berusaha mencari solusi, misalnya dengan
mengatur volume pada jam-jam tertentu dan menawarkan bantuan perbaikan. Ia
percaya bahwa hiburan juga penting untuk menjaga semangat warga desa.
Fenomena sound horeg yang dibawa Bagong ini memicu
perdebatan yang lebih luas tentang identitas Jawa itu sendiri, yang kini
merambah ke ranah digital dalam bentuk perang hashtag.
Di satu sisi, ada kubu #JawaPremium. Mereka adalah para
penikmat kelestarian gending dan tradisi lama, meskipun manusia dan
kota-kotanya telah tumbuh menjadi modern. Mereka percaya pada harmoni yang
tercipta dari alunan gamelan lembut, tata krama yang terjaga, dan pakem yang
tak lekang oleh waktu. Bagi mereka, sound horeg adalah anomali, sebuah distorsi
dari keaslian, yang bahkan bisa merusak fisik bangunan dan tatanan budaya. Di
media sosial, mereka gencar menyuarakan pentingnya menjaga kemurnian tradisi, memposting
video tarian klasik, dan petuah-petuah bijak dari para sesepuh. Mereka
menganggap #Horeg adalah cerminan dari budaya instan yang merusak akar.
Namun, di sisi lain, muncul pula kubu #Horeg. Ini adalah
cerminan dari semangat Bagong dan Karang Kedempel: sebuah Jawa yang berani
bereksperimen, merangkul modernitas, bahkan jika itu berarti mencampuradukkan
tradisi dengan inovasi yang radikal. Mereka melihat bahwa Jawa, seperti halnya
budaya lain, harus dinamis, berevolusi, dan menemukan cara-cara baru untuk
tetap relevan bagi generasi yang terus berubah. Sound horeg, dalam konteks ini,
adalah ekspresi kebebasan, sebuah cara untuk merasakan kegembiraan dan
kebersamaan di era digital, bahkan dengan segala "efek samping" yang
unik. Mereka membanjiri linimasa dengan video konser horeg, tutorial DJ ala
desa, dan meme-meme lucu tentang getaran bas yang bikin pusing tapi
nagih. Bagi mereka, #JawaPremium terlalu kaku dan tidak relevan dengan zaman.
Karang Kedempel, dengan Bagong sebagai pionirnya, kini
menjadi semacam laboratorium budaya dan medan perang hashtag. Di sana, batas
antara "#JawaPremium" dan "#Horeg" menjadi kabur.
Gending-gending lama masih sesekali terdengar dari balai desa, berpadu dengan
dentuman bas horeg yang menggema dari lapangan. Anak-anak muda masih belajar
tari tradisional di pagi hari, namun di malam hari mereka bisa berjoget
mengikuti irama dubstep ala Bagong, bahkan menikmati sensasi getaran
yang merontokkan debu dari atap. Kedua kubu saling berargumen di grup WhatsApp
desa, namun pada akhirnya, mereka semua tetap berkumpul di lapangan saat ada
acara.
Demam sound horeg yang dibawa Bagong ini telah mengubah
wajah hiburan di Karang Kedempel. Meskipun masih ada pro dan kontra, dan perang
hashtag terus berlanjut, fenomena ini telah memberikan warna baru dan menarik
perhatian banyak orang. Apakah ini akan menjadi tren yang bertahan lama, atau
hanya euforia sesaat? Hanya waktu yang bisa menjawab. Namun, satu hal yang
pasti: di Desa Karang Kedempel yang dulunya tenang, kini dentuman bas dari sound
system Bagong akan terus menggema, setidaknya sampai Bagong menemukan
inovasi berikutnya. Dan siapa tahu, mungkin suatu saat Karang Kedempel akan
dikenal sebagai "Kampung Horeg", simbol Jawa Belahan yang Lain yang
tak takut berinovasi, bahkan jika itu berarti sedikit kerusakan di sana-sini
demi puncak "horeg" yang viral! 🎶