Petruk Gugat

Petruk sedang Orasi : Dok. Pribadi. 


Di tanah Amarta yang subur, tempat kejayaan dan kebijaksanaan bertahta, terhampar pula kisah-kisah kecil para abdi yang tak lekang oleh waktu. Mereka, dengan keringat dan kesetiaan, adalah denyut nadi yang menghidupkan setiap sudut keraton. Namun, di antara gemerlap janji dan harapan yang terpancar dari singgasana, seringkali terselip bayang-bayang ketidakpastian. Sebuah kisah tentang penantian panjang, tentang asa yang terus dipupuk, dan tentang sebuah gugatan yang pada akhirnya harus disuarakan. Inilah kisah Petruk, sang abdi setia, yang hatinya tergores oleh janji-janji manis yang tak kunjung menjadi nyata.

Angin berdesir lembut di persada Amarta, membawa serta bisik-bisik dan harapan yang terus melambung tinggi. Di antara riuhnya pasar dan megahnya istana, Petruk melangkah dengan langkah-langkah ringannya, namun jiwanya sarat akan beban janji. Bertahun-tahun sudah ia mengabdi sebagai tenaga harian di keraton, memanggul beban, menyapu halaman, dan melakukan segala titah para punggawa. Keringatnya membasahi bumi Amarta, namun hatinya selalu dihangatkan oleh sebuah asa: janji pengangkatan status.

Janji itu, bak nyanyian merdu dari para penguasa, telah berkali-kali digaungkan. Dari mulut para adipati yang berseri, hingga titah Sri Baginda Prabu Yudhistira yang bijaksana, selalu ada selipan kalimat tentang masa depan cerah bagi para abdi dalem seperti dirinya. "Semua tenaga harian akan kami angkat menjadi pegawai tetap keraton!" demikian seru mereka, disusul sorak sorai dan tepuk tangan dari rakyat jelata yang turut bahagia mendengar nasib sesama terangkat. Petruk muda kala itu percaya, sepenuh hati. Ia membayangkan seragam baru, gaji tetap, dan pengakuan yang layak atas pengabdiannya.

Setiap pagi, sebelum fajar menyingsing, Petruk sudah bangun. Ia memulai harinya dengan semangat membara, membayangkan hari ketika namanya terukir dalam daftar pegawai tetap. Ia bekerja lebih keras dari siapapun, berharap kinerjanya akan dilihat, akan diperhitungkan. Seringkali, saat malam tiba dan rembulan menggantung di langit Amarta, Petruk masih sibuk menyelesaikan tugas-tugas tambahan, sekadar untuk membuktikan dedikasinya. Namun, setiap kali ia bertanya kepada kepala bagian atau salah satu punggawa yang berwenang, jawabannya selalu sama: "Bersabar, Petruk. Prosesnya sedang berjalan. Ini semua demi kesejahteraan kalian."

Musim demi musim berganti, dan janji itu tetaplah janji. Kertas-kertas pengumuman tertempel, lalu menguning, lalu tanggal, digantikan oleh kertas baru dengan janji yang sama. Para penguasa silih berganti, namun narasi mereka tak jauh berbeda. Janji itu kini terasa seperti fatamorgana di gurun pasir, terlihat nyata namun tak pernah bisa digapai. Petruk tak lagi muda, rambutnya mulai diselingi uban, dan punggungnya sedikit membungkuk karena beban kerja yang tak pernah berkurang. Ia melihat rekannya sesama tenaga harian yang juga menanti, satu per satu menyerah pada nasib, beralih profesi, atau sekadar pasrah pada keadaan. Senyum mereka memudar, digantikan oleh raut lelah dan putus asa.

Kekecewaan menggerogoti hatinya. Ia ingat pesan orang tuanya untuk selalu menghormati dan mematuhi pemimpin. Namun, bagaimana ia bisa menghormati janji-janji yang tak pernah ditepati? Bagaimana ia bisa terus percaya pada kata-kata yang hanya menghasilkan kekecewaan? Rasa frustrasi itu memuncak ketika suatu hari, seorang tenaga harian baru, yang bahkan belum genap setahun mengabdi, tiba-tiba diangkat menjadi pegawai tetap karena memiliki koneksi dengan salah satu pejabat tinggi. Hati Petruk hancur berkeping-keping. Keringat dan pengabdian bertahun-tahunnya seolah tak ada artinya.

Tapi Petruk berbeda. Di balik wajahnya yang jenaka, tersembunyi tekad baja. Cukup sudah ia dipermainkan oleh janji-janji manis yang hampa. Ia tak ingin lagi hanya menjadi korban dari sistem yang tak adil. Ia tak ingin lagi melihat rekan-rekannya merana dalam ketidakpastian. Ada sebuah bara api kecil yang kini berkobar di dalam dadanya, bara api keberanian untuk menuntut haknya, untuk menyuarakan ketidakadilan yang ia dan kawan-kawannya alami.

Maka, pada suatu pagi yang cerah namun terasa mendung di hatinya, Petruk memberanikan diri. Ia melangkah mantap menuju balairung agung, tempat para pembesar keraton biasa bersidang. Dengan langkah tegap dan suara yang lantang, meski sedikit bergetar, ia berseru, "Hamba Petruk, dari golongan tenaga harian, menghadap! Ada gugatan yang hendak hamba sampaikan!"

Sontak, seluruh mata tertuju padanya. Beberapa pembesar mengerutkan dahi, sebagian lain terkejut, namun banyak pula yang menatapnya dengan pandangan iba, seolah sudah tahu apa yang akan keluar dari mulutnya. Mereka tahu persis apa yang dimaksud Petruk, karena janji itu telah menjadi rahasia umum, aib yang disimpan rapat-rapat di balik kemegahan keraton.

"Gugatan apa gerangan, Petruk?" tanya seorang patih dengan nada sabar, meski tersirat sedikit rasa jengah dan sedikit kekhawatiran.

"Gugatan tentang janji, Tuan Patih!" seru Petruk, suaranya kini lebih mantap, menggetarkan seisi balairung. "Janji yang telah Paduka, para adipati, dan bahkan Sri Baginda sendiri lontarkan berulang kali! Janji untuk mengangkat kami, para tenaga harian, menjadi pegawai tetap keraton Amarta! Sampai kapan kami harus menunggu? Sampai kapan kami harus hidup dalam ketidakpastian, mengabdi tanpa pengakuan yang layak, hanya berbekal janji-janji yang tak pernah terwujud?"

Kata-kata Petruk menggaung di seluruh balairung. Para pembesar saling berpandangan, tak ada yang berani menyanggah. Wajah mereka memerah, malu. Petruk melanjutkan, "Kami bukan sekadar tenaga harian, Tuan. Kami adalah urat nadi keraton ini! Keringat kami adalah pupuk bagi kejayaan Amarta! Namun, kami hanya dianggap seperti debu, yang bisa disapu kapan saja, tanpa ada kepastian akan hari esok. Janji-janji itu, bagi kami, tak lebih dari angin surga yang hanya memperpanjang penderitaan! Kami lelah diberi harapan palsu, lelah dengan basa-basi yang tak berujung nyata!"

Sunyi menyelimuti ruangan. Tak ada yang mampu berkata-kata. Petruk, si abdi dalem jenaka, kini berdiri gagah sebagai simbol perlawanan atas janji-janji kosong kekuasaan. Gugatannya bukan hanya miliknya, melainkan gugatan dari ribuan Petruk lainnya yang tersebar di seluruh penjuru negeri, yang terus menanti kepastian, dan terus berharap janji-janji itu pada akhirnya akan terpenuhi. Keberaniannya telah membuka mata banyak orang, menyentak kesadaran para penguasa yang terlalu lama terlena dalam kemegahan semu.

Gugatan Petruk menggema di seluruh pelosok Amarta. Ia memang bukan seorang kesatria dengan pedang di tangan, namun kata-katanya lebih tajam dari bilah senjata manapun. Ada yang mencemoohnya sebagai pemberontak, namun lebih banyak lagi yang memuji keberaniannya. Sejak hari itu, janji-janji tak berdasar tak lagi mudah diucapkan oleh para penguasa. Mereka dipaksa untuk bercermin, melihat kembali wajah rakyat yang selama ini mereka abaikan.

Apakah gugatan Petruk mengubah segalanya dalam sekejap? Tidak. Perubahan memang tak pernah terjadi secepat itu. Namun, benih-benih kesadaran telah tertanam. Harapan yang semula redup kini kembali menyala, kali ini bukan karena janji semata, melainkan karena suara lantang seorang Petruk yang berani menuntut keadilan. Kisah Petruk Gugat menjadi pengingat abadi bahwa kekuatan sejati seringkali muncul dari tempat yang tak terduga, dan bahwa suara rakyat, sekecil apapun, pada akhirnya akan menemukan jalannya untuk didengar. Dan terkadang, hanya dengan satu gugatan yang tulus, sebuah perubahan besar dapat dimulai.

 

Admin usudo.id

Tulisan di Blog ini adalah Kumpulan Tulisan saya , baik yang pernah dipublikasikan di Media Online maupun yang saya upload hanya di sini

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama