![]() |
Candi ratu Boko Dok. Pribadi. |
Di antara gemuruh zaman yang berlalu dan bisikan angin yang menyusup di celah-celah batu, Candi Ratu Boko berdiri kokoh, saksi bisu ribuan senja yang telah tenggelam. Bukan sekadar tumpukan batu purba, ia adalah jantung yang berdetak, menyimpan denyut kisah-kisah lama, melahirkan mitos-mitos yang menari di antara kepercayaan dan keraguan. Ada yang menyebutnya tempat keramat penuh berkah, di mana air kehidupan dapat memudarkan usia. Namun, tak sedikit pula yang bergidik, sebab di balik keagungannya, tersimpan janji pahit bagi sepasang kekasih yang berani menguji kesetiaan. Di sinilah, di ambang pergantian waktu, kisah baru terukir, tentang mata yang mencari kebenaran, dan hati yang takluk pada misteri.
Di antara lekuk waktu dan bias senja yang meremang, CandiRatu Boko selalu menyimpan kisah, menenun mitos dalam setiap serat batu
purbanya. Sore itu, ketika cakrawala menjelma kanvas oranye keemasan, Aruna,
seorang pelukis sekaligus fotografer dengan mata setajam lensa, melangkah di antara sisa-sisa
kemegahan yang pernah ada. Jemarinya lincah menari di tombol kamera,
mengabadikan setiap detail yang disepuh cahaya terakhir hari.
Ia berhenti di tepi sebuah kolam, permukaannya memantulkan
serpihan langit yang kian gelap. Airnya jernih, mengundang pandang. Arjun,
pemandu lokal dengan senyum sehangat mentari pagi, mendekat. "Indah,
bukan?" bisiknya, suaranya mengalir lembut seperti angin yang mengelus
pelataran candi. "Bahkan senja di sini terasa berbeda, seolah menyimpan
rahasia."
Aruna mengangguk, namun tatapannya masih diselimuti
keraguan. "Ini kolam yang katanya bikin awet muda itu, ya?" ucapnya,
nada skeptis tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan. Arjun terkekeh, "Betul
sekali, Mbak. Banyak yang percaya begitu. Konon, airnya langsung dari perut
bumi, menyimpan khasiat rahasia. Saya sendiri pernah melihat nenek-nenek di
desa sebelah sering membasuh muka di sini, wajahnya terlihat segar terus,
seperti bunga yang tak pernah layu." Aruna mengangkat alis, seolah mencoba
menimbang kebenaran di balik tuturan itu. Baginya, keindahan adalah fakta yang
terbingkai, bukan bisikan mitos yang melayang. Namun, sebuah dorongan lembut
membuatnya menjulurkan jari, menyentuh permukaan air. Dingin, jernih, dan entah
mengapa, terasa menyegarkan.
Mereka melanjutkan perjalanan mengelilingi reruntuhan,
menyusuri lorong waktu yang sepi. Aroma lumut dan batu basah membaur dengan
sisa keharuman bunga kenanga yang tak terlihat. Aruna melirik sepasang kekasih
yang baru saja melintas, tangan mereka saling menggenggam erat, seolah takkan
terlepas. "Di sini juga ada mitos tentang pasangan, kan?" tanyanya,
suaranya sedikit melunak. "Yang katanya bisa putus kalau ke sini?"
Wajah Arjun sedikit berubah, seolah awan tipis melintas di
cakrawala. "Ah, itu… mitos lain, Mbak," bisiknya, nadanya lebih
serius. "Cukup populer di kalangan penduduk lokal. Konon, aura Candi Ratu
Boko ini begitu kuat, ia menguji kesetiaan. Kalau fondasi cintanya tak kokoh,
ya bisa bubar." Aruna tersenyum sinis, menganggapnya tak lebih dari alasan
klise. "Kedengarannya seperti cara mudah untuk menyalahkan candi daripada
masalah pribadi, ya," gumamnya. Namun, Arjun hanya memandang jauh ke arah
siluet pasangan yang kian mengecil. "Mungkin saja, Mbak. Tapi saya pernah
melihat sendiri, ada sepasang kekasih yang bertengkar hebat setelah kunjungan
mereka. Padahal awalnya baik-baik saja, seperti sungai yang tiba-tiba
bergejolak." Ia menghela napas, bayangan-bayangan lama seolah menari di
matanya.
Malam mulai merengkuh Candi Ratu Boko. Bintang-bintang
bermunculan, bertaburan di langit bagai permata di atas permadani beludru
hitam. Hanya beberapa lampu sorot yang setia menyoroti kemegahan yang tersisa.
Aruna memeriksa hasil bidikannya, senyum tipis terukir di bibirnya.
"Hasilnya bagus sekali, Arjun. Terima kasih sudah menemani."
"Sama-sama, Mbak Aruna," jawab Arjun.
Tiba-tiba, sebuah sensasi aneh menjalar di benak Aruna.
Bukan dinginnya malam, bukan pula rasa takut, melainkan sebuah bisikan lembut,
seperti panggilan dari kedalaman yang tak terjamah. Ia harus kembali ke kolam
itu. Sebuah dorongan kuat yang tak bisa dijelaskan. "Arjun, saya… saya mau
kembali ke kolam itu sebentar," ucapnya, nadanya penuh desakan. Arjun
mengernyit, "Tapi sudah larut, Mbak. Penjaga akan segera menutup."
Namun Aruna menggeleng, pandangannya terpaku pada kolam yang seolah
memanggilnya. "Sebentar saja. Ada sesuatu yang… memanggil." Arjun
mengangguk perlahan, seolah memahami bahasa batin yang tak terucap.
Mereka kembali. Aruna berlutut, menatap air yang kini
memantulkan ribuan bintang. Tanpa ragu, ia membasuh wajahnya. Dingin, namun ada
sensasi menyegarkan yang melingkupinya, seolah setiap tetes air membawa energi
baru yang meresap ke dalam pori-porinya. Ketika ia mengangkat wajahnya, bukan
awet muda yang instan, melainkan sebuah kejernihan, kedamaian yang belum pernah
ia rasakan sebelumnya. Skeptisisme yang selama ini menjadi tamengnya, perlahan
luntur, digantikan oleh secercah takjub.
"Entahlah, Arjun," gumamnya, senyum tipis merekah.
"Mungkin ada sesuatu di air ini. Atau mungkin… di dalam diriku
sendiri." Arjun tersenyum penuh arti. "Saya percaya, Mbak. Candi ini
menyimpan banyak rahasia. Dan setiap orang yang datang ke sini akan menemukan
rahasianya sendiri."
Aruna menoleh ke arah gerbang utama, ke mana pasangan muda
tadi menghilang. Ia teringat kembali mitos tentang kutukan cinta. Sebuah
keraguan kecil merayap. Akankah mitos itu nyata bagi mereka?
Senyumnya melebar, kali ini dengan kilatan nakal di matanya.
"Mungkin saya harus kembali lagi besok, untuk melihat apakah ada kerutan
yang hilang. Dan mungkin, untuk melihat apakah mitos kutukan itu hanya omong
kosong belaka."
Arjun tertawa kecil. "Akan saya tunggu, Mbak Aruna.
Sampai jumpa besok, di bawah senja Ratu Boko yang selalu menyimpan
misteri."
Aruna mengangguk, lalu melangkah perlahan menuju pintu
keluar, meninggalkan Candi Ratu Boko yang diselimuti misteri dan mitos, dan
membawa serta pertanyaan abadi tentang keajaiban dan kutukan yang tersembunyi
di setiap sudutnya.
Senja telah lama luruh, menyisakan gelap yang perlahan
ditelan fajar. Aruna meninggalkan Candi Ratu Boko, namun candi itu tak lagi
sekadar reruntuhan dalam bingkai lensanya. Ia telah menyentuh sesuatu yang
lebih dalam, meruntuhkan dinding skeptisisme yang selama ini ia bangun. Air
yang ia basuhkan tak serta merta menghapus kerutan, namun ia meninggalkan
kejernihan di jiwa, sebuah pemahaman bahwa keajaiban tak selalu kasat mata,
melainkan kerap bersembunyi di antara keyakinan dan rasa ingin tahu.
Di kejauhan, pasangan yang sempat ia lihat mungkin masih
bergandengan tangan, atau mungkin telah menemukan takdir yang berbeda. Mitos
tentang cinta yang terputus atau awet muda yang abadi, pada akhirnya, hanyalah
cermin dari apa yang diyakini hati. Candi Ratu Boko, dengan segala misteri dan
pesonanya, akan terus berdiri. Dan setiap jiwa yang melangkah ke sana, akan
membawa pulang bagian dari kisahnya sendiri, entah itu sebuah keajaiban yang
nyata, atau sekadar bisikan dari senja yang merayu.