Macet : Dok. Pribadi.
Pagi hari di rumah kini terasa seperti sebuah pertunjukan drama yang tak pernah sepi adegan. Dulu, ritme hidup cukup sederhana: bangun, mandi dan bersiap, lalu berangkat kerja bersama istri. Tapi sekarang? Ada misi baru yang menanti setiap subuh: mengantar si bungsu ke MTSN. Jaraknya sih cuma 8 kilometer, dekat sebenarnya. Namun, rutenya itu lho, nggak searah sama kantor saya. Jadi, setelah drop off anak, saya harus putar balik lagi ke rumah buat jemput istri, baru deh kami ngantor. Waktu dan bensin jelas terkuras. Belum lagi, pagi hari di kota ini sering diwarnai kemacetan parah. Jalanan jadi lautan kendaraan: dari pekerja kantoran, anak sekolah, sampai ibu-ibu ke pasar, semua tumpah ruah.
Semacet ini saat Brerangkat dan Pulang
Ditambah lagi, drama pagi ini makin komplit dengan kebiasaan anak yang belum sepenuhnya tertata. Meskipun alarm sudah meraung-raung dari subuh, proses dari mandi sampai siap berangkat sering diiringi mood yang naik turun, bikin lama. Alhasil, kami baru bisa melangkah keluar rumah sekitar pukul 06.07 WIB. Padahal, lewat jam 6 pagi itu adalah rush hour di jalan! Untungnya, kami sekeluarga tak biasa sarapan di rumah, jadi setidaknya satu item penguras waktu itu bisa dihilangkan. Pagi yang penuh tantangan ini memang menuntut kesabaran ekstra.
Kalau pagi hari, meski hectic, masih bisa saya atasi. Nah, permasalahan sesungguhnya dulu muncul di siang hari, tepatnya saat jam pulang sekolah anak. Ada satu hari di hari kamis di mana jadwal mengajar saya berbenturan persis dengan jam-jam terakhir sekolah. Ini jadi dilema besar. Di satu sisi, saya harus fokus mengajar. Di sisi lain, pikiran saya sudah melayang memikirkan bagaimana anak pulang nanti.
Di kota ini, angkutan umum seperti angkot itu langka banget. Nyaris semua orang pakai kendaraan pribadi. Makanya, urusan jemput-menjemput anak ini jadi PR besar yang belum ketemu solusinya. Saya sudah putar otak, mencoba mencari tahu apakah ada jasa antar jemput khusus anak sekolah atau setidaknya layanan jemput saja.
Ojek online sempat terlintas di pikiran. Tapi setelah dihitung-hitung, tarif ojek sekali jalan ke sekolah itu bisa buat beli bensin untuk antar jemput saya selama dua minggu! Ternyata, meski hanya 8 kilometer, tarifnya lumayan mahal. Jadi, opsi ojek online sepertinya bukan pilihan yang bijak untuk jangka panjang.
Namun, tiba-tiba saya teringat sesuatu! Aha! Saya segera mengunduh jadwal mengajar semua rekan guru. Setelah saya pelajari, saya menemukan celah: saya bisa bertukar jadwal dengan guru Kimia di hari Jumat. Jadi, selagi si kecil pulang antara jam 13.00-14.00, saya bisa menjemputnya sendiri. Begitulah, selalu ada solusi di balik setiap tantangan!
Kini, setidaknya untuk hari Kamis, kekhawatiran soal penjemputan anak di siang hari sudah teratasi. Pagi hari masih diwarnai dinamika khas keluarga dengan anak sekolah, namun sore hari kini punya titik terang. Pencarian solusi yang efektif, efisien, dan terjangkau memang tidak mudah, namun pengalaman ini membuktikan bahwa dengan sedikit kreativitas dan kolaborasi, jalan keluar selalu bisa ditemukan. 🥳
Tags:
Diary