Ironi di Balik Raport : Ketika Guru "Ngarang Biji" Demi Tuntutan Angka

Ilustrasi : Guru Menulis. dok. Pribadi. 


Di penghujung semester, ketika hiruk pikuk ujian mulai mereda, tibalah saat yang dinanti sekaligus mendebarkan bagi banyak guru di seluruh Indonesia: proses penilaian untuk mengisi raport pendidikan anak. Momen ini seharusnya menjadi cerminan jujur dari perjalanan belajar siswa, sebuah laporan otentik tentang capaian, tantangan, dan potensi mereka. Namun, di balik dinding ruang guru, seringkali tersembunyi sebuah ironi yang menjauhkan esensi pendidikan dari tujuan utamanya. Tulisan ini akan menelusuri praktik yang dikenal sebagai "Ngaji, ngarang biji" atau mengarang nilai, sebuah fenomena yang menjadi semakin kompleks ketika desakan untuk "memberi nilai tinggi" datang langsung dari atasan, bahkan untuk siswa yang abai dalam tugas dan kehadiran. Penting untuk digarisbawahi sejak awal, tulisan ini bukanlah sebuah tudingan atau upaya menghakimi. Ini adalah sebuah refleksi dan pandangan dari sebuah praktik yang sayangnya, berdasarkan pengamatan di lapangan, memang terjadi. Kami memahami bahwa tidak semua guru dan tidak semua sekolah melakukan praktik semacam ini, dan justru banyak yang senantiasa menjunjung tinggi integritas dalam setiap proses penilaian. Mari kita telaah lebih dalam akar masalah dan dampaknya, dengan harapan dapat bersama-sama mencari solusi demi masa depan pendidikan yang lebih baik.


"Ngarang Biji": Sebuah Refleksi Kegagalan Sistem?


Praktik mengarang nilai bukanlah rahasia umum. Banyak guru yang merasa terpaksa melakukannya, bukan karena keinginan pribadi, melainkan seringkali karena tekanan sistematis. Kita bisa melihat beberapa faktor pemicu utamanya. Seringkali guru terbebani tumpukan tugas administrasi yang sangat banyak, termasuk penyusunan raport yang detail. Waktu yang terbatas dan energi yang terkuras terkadang mendorong sebagian guru untuk memilih jalan pintas ini. Selain itu, tidak semua guru memiliki pemahaman mendalam tentang berbagai metode penilaian autentik yang seharusnya bisa memberikan gambaran holistik tentang capaian belajar siswa. Akibatnya, penilaian kerap berujung pada angka-angka kaku yang mudah dimanipulasi. Ditambah lagi, sistem pendidikan kita masih sangat terfokus pada angka, rata-rata, dan peringkat. Hal ini menciptakan tekanan agar siswa "lulus" atau "naik kelas" dengan nilai yang baik, terlepas dari kualitas pemahaman atau usaha mereka.

Dampak dari praktik "ngarang biji" ini tentu sangat merugikan. Siswa tidak mendapatkan umpan balik yang jujur tentang kekuatan dan kelemahan mereka, sehingga menghambat perbaikan diri. Motivasi belajar bisa luntur karena mereka merasa usaha tidak lagi relevan. Orang tua pun menerima informasi yang keliru tentang perkembangan anak mereka. Yang paling parah, integritas profesi guru menjadi tercoreng. Jika penilaian tidak mencerminkan kenyataan, maka kualitas pendidikan secara keseluruhan akan merosot.


Dilema Guru: Antara Integritas dan Tuntutan Atasan


Situasi menjadi jauh lebih rumit ketika praktik "ngarang biji" ini bukan lagi inisiatif guru semata, melainkan sebuah tuntutan eksplisit dari atasan. Bayangkan seorang guru yang mendapati siswanya sering bolos dan tidak mengumpulkan tugas, namun diinstruksikan untuk tetap memberikan nilai tinggi. Ini adalah dilema etis yang menempatkan guru di persimpangan jalan antara integritas profesional dan kepatuhan hierarkis.

Kita bisa melihat beberapa alasan mengapa tuntutan seperti ini bisa muncul. Nilai siswa yang tinggi sering dianggap mencerminkan kualitas sekolah, yang pada gilirannya memengaruhi citra dan hasil akreditasi. Beberapa sekolah mungkin juga memiliki target persentase kelulusan tertentu yang harus dicapai, dan nilai rendah bisa menghambatnya. Ada juga keinginan atasan untuk menghindari keluhan atau protes dari orang tua atau siswa yang tidak terima dengan nilai rendah. Bahkan, ada anggapan keliru bahwa nilai siswa yang rendah mencerminkan kinerja guru yang kurang baik dalam mengajar.

Mengikuti tuntutan ini sama dengan menerbitkan "nilai fiktif" yang memiliki dampak destruktif. Siswa tidak akan belajar tentang konsekuensi dari keabaian. Ini menumbuhkan mentalitas instan dan merampas kesempatan mereka untuk belajar tanggung jawab, mempersulit mereka di jenjang pendidikan berikutnya atau dunia kerja. Guru juga akan merasa bersalah dan profesionalismenya sebagai pendidik yang jujur akan dipertanyakan. Informasi yang salah ini akan menghalangi orang tua memberikan dukungan atau intervensi yang tepat untuk anak mereka. Dan yang terpenting, jika standar akademik menjadi tidak berarti, maka kualitas pendidikan akan terus menurun, dan siswa yang rajin serta berprestasi pun bisa merasa tidak dihargai.

Fenomena "ngarang biji" dan tuntutan nilai tinggi adalah cerminan kompleksitas serta tantangan serius dalam sistem pendidikan kita. Ini bukanlah masalah individu guru atau sekolah semata, melainkan persoalan sistemik yang memerlukan perhatian dan tindakan kolektif. Alih-alih mencari siapa yang patut disalahkan, mari kita berfokus pada pembangunan solusi yang konstruktif dan berkelanjutan.


Saran Terbaik untuk Membangun Sistem Penilaian yang Berintegritas:


Penguatan Kapasitas Guru yang Komprehensif: Pemerintah dan lembaga pendidikan harus secara kontinu memberikan pelatihan mendalam tentang berbagai metode penilaian autentik yang lebih holistik dan relevan. Ini tidak hanya mencakup "bagaimana cara menilai," tetapi juga "mengapa penilaian jujur itu penting." Bersamaan dengan itu, perlu ada evaluasi dan penyederhanaan beban administrasi guru agar mereka dapat mencurahkan lebih banyak waktu dan energi pada esensi pengajaran dan penilaian yang berkualitas.

Membangun Budaya Transparansi dan Akuntabilitas: Setiap sekolah harus mendorong terciptanya budaya di mana kejujuran dan integritas dalam penilaian adalah nilai utama. Ini bisa diwujudkan melalui mekanisme penilaian yang lebih transparan, dokumentasi kinerja siswa yang jelas dan terstruktur, serta komunikasi terbuka dan berkelanjutan dengan orang tua. Sistem evaluasi internal juga harus berfungsi secara efektif untuk memastikan praktik penilaian berjalan sesuai prosedur dan etika.

Pergeseran Paradigma Penilaian: Kita semua, baik pendidik, orang tua, maupun pemangku kebijakan, perlu bergeser dari obsesi terhadap angka dan peringkat semata. Fokus harus diarahkan pada proses belajar siswa, kemajuan yang dicapai, dan upaya yang telah dilakukan. Raport seharusnya menjadi cerminan perjalanan belajar siswa, sebuah narasi tentang perkembangan mereka, bukan sekadar daftar angka yang statis.

Dukungan Atasan yang Berpihak pada Integritas: Para atasan di lingkungan pendidikan memiliki peran krusial sebagai pemimpin dan fasilitator. Mereka harus menjadi pendukung utama integritas guru dalam penilaian. Ketika seorang guru menghadapi dilema nilai, atasan harus mendengarkan data dan argumen objektif yang disampaikan guru, serta bersama-sama mencari solusi yang berpihak pada perkembangan siswa dan kejujuran akademik. Kode etik profesi guru juga perlu ditegakkan dan dijadikan panduan utama.

Edukasi dan Keterlibatan Orang Tua: Orang tua adalah mitra penting dalam pendidikan. Mereka perlu diedukasi tentang esensi penilaian yang jujur dan bagaimana nilai, baik tinggi maupun rendah, adalah umpan balik yang berharga. Mereka harus memahami bahwa nilai yang rendah mungkin merupakan sinyal untuk intervensi dan perbaikan, bukan kegagalan yang harus ditutupi atau diperdebatkan.

Dengan keberanian untuk menghadapi kenyataan, komitmen terhadap integritas, dan kolaborasi dari seluruh pihak --- guru, siswa, orang tua, atasan, dan pemerintah --- kita bisa menciptakan sistem penilaian yang lebih adil, akurat, dan pada akhirnya, benar-benar mendukung perkembangan optimal setiap anak didik di Indonesia. Mari bersama-sama wujudkan pendidikan yang tidak hanya menghasilkan angka, tetapi juga karakter dan kompetensi sejati.

 

 




______________________
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ironi di Balik Raport : Ketika Guru "Ngarang Biji" Demi Tuntutan Angka", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/agus55303/6853cd5ced641560db7dd482/ironi-di-balik-raport-ketika-guru-ngarang-biji-demi-tuntutan-angka?page=all#section1

Admin usudo.id

Tulisan di Blog ini adalah Kumpulan Tulisan saya , baik yang pernah dipublikasikan di Media Online maupun yang saya upload hanya di sini

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama