![]() |
Ivana Kelas 7 MTsN : Dok. Pribadi. |
Jer Basuki Mawa Bea, sebuah adagium Jawa yang tak lekang oleh waktu, menggemakan kebenaran universal: setiap pencapaian besar selalu menuntut pengorbanan. Dalam konteks pendidikan, filosofi ini menemukan resonansi yang mendalam, membentangkan selubung di balik gemerlap impian bangku sekolah, dan menyingkap realitas bahwa pendidikan bukanlah entitas gratis, melainkan sebuah perjalanan yang berbalut pengorbanan, baik dari sang pembelajar maupun orang tua.
Biaya yang Tersembunyi di Balik Buku dan Pena
Bayangan seorang anak berseragam rapi, melangkah riang
menuju gerbang sekolah, seringkali hanya menampilkan satu sisi koin. Di
baliknya, terhampar labirin biaya yang tak selalu kasat mata. Bukan sekadar
uang SPP atau biaya buku, melainkan serangkaian pengeluaran yang memanjang dari
ujung rambut hingga ujung kaki. Ada seragam yang harus diperbarui seiring
pertumbuhan, alat tulis yang terus-menerus menipis, hingga biaya transportasi
yang tak jarang menguras kantong.
Lebih jauh lagi, ada biaya-biaya tersembunyi yang seringkali
luput dari perhitungan awal. Les tambahan, kursus keterampilan, studi tur,
hingga proyek-proyek sekolah yang membutuhkan materi khusus. Semua ini adalah
"bea" yang harus dibayar demi memastikan sang anak memiliki bekal
yang cukup untuk bersaing di medan ilmu. Ini adalah bukti nyata bahwa
pendidikan menuntut lebih dari sekadar kehadiran fisik, ia menuntut investasi
finansial yang berkelanjutan.
Jejak Keringat Orang Tua: Sebuah Kisah Heroik yang Tak
Tertulis
Namun, "bea" pendidikan tidak hanya berhenti pada
angka-angka di atas kertas. Ia merasuk ke dalam relung hati, menjejakkan
keringat dan air mata, terutama bagi para orang tua. Mereka adalah pahlawan
tanpa tanda jasa, yang setiap hari berjuang memeras tenaga, memutar otak, dan
terkadang menekan keinginan pribadi, demi menjamin putra-putrinya mendapatkan
pendidikan terbaik.
Seorang ayah yang pulang larut malam dengan punggung pegal,
seorang ibu yang beralih profesi demi mendapatkan penghasilan tambahan, atau
sepasang suami istri yang rela menunda impian pribadi demi biaya sekolah anak,
adalah fragmen-fragmen prosa kehidupan yang tak terpisahkan dari adagium
"Jer Basuki Mawa Bea." Mereka adalah bukti nyata bahwa pendidikan
adalah buah dari kerja keras dan pengorbanan kolektif.
Tak jarang, biaya yang harus ditanggung tak hanya berupa
materi. Ada pengorbanan waktu, perhatian, dan energi. Orang tua tak hanya
menyiapkan dana, tetapi juga menyediakan lingkungan belajar yang kondusif,
memberikan motivasi, serta mendampingi setiap langkah sang anak dalam menimba
ilmu. Ini adalah "bea" yang tak bisa diukur dengan nominal, melainkan
dengan ketulusan dan cinta.
Pendidikan: Sebuah Investasi, Bukan Sekadar Pengeluaran
Maka, ketika kita bicara tentang sekolah dan biaya dalam
konteks "Jer Basuki Mawa Bea," kita tidak hanya membahas tentang
nominal uang yang harus dikeluarkan. Kita berbicara tentang sebuah investasi
jangka panjang yang menuntut pengorbanan dari berbagai pihak. Pengorbanan siswa
dalam belajar, pengorbanan orang tua dalam mencari nafkah dan memberikan
dukungan, serta pengorbanan waktu dan tenaga yang tak terhingga.
Pendidikan adalah jalan menuju pencerahan, gerbang menuju
masa depan yang lebih baik. Namun, jalan itu tak selalu mulus dan gerbang itu
tak selalu terbuka gratis. Ada "bea" yang harus dibayar, sebuah harga
yang mungkin terasa berat, namun pada akhirnya akan terbayar lunas dengan
terciptanya generasi yang cerdas, berdaya, dan mampu mengukir masa depan yang
lebih gemilang. Inilah esensi sejati dari "Jer Basuki Mawa Bea" dalam
bingkai pendidikan: bahwa setiap kemuliaan, setiap keberhasilan, akan selalu
diiringi dengan pengorbanan yang tulus dan tak kenal lelah.
Ketika senja merayap, memulas jingga di ufuk barat,
bayangan-bayangan panjang terlukis di lapangan sekolah yang kini lengang.
Dinginnya angin sore seolah membisikkan kisah-kisah tak terlihat, tentang
perjuangan yang terukir di setiap bangku, di setiap lembar buku yang lusuh. Di
sanalah, di antara dinding-dinding kokoh itu, "Jer Basuki Mawa Bea"
menemukan makna sejatinya.
Kita mungkin melihat ijazah yang terpajang gagah, atau
senyum bangga saat toga tersampir di bahu. Namun, di balik setiap pencapaian
itu, ada tetes peluh yang menetes jauh sebelum fajar menyingsing, ada kerutan
di dahi seorang ayah yang menghitung setiap sen, dan ada doa-doa yang
dipanjatkan seorang ibu di tengah malam buta. Setiap nilai yang tercetak di
rapor, setiap pemahaman yang tertanam di benak, adalah hasil dari sebuah
kolaborasi cinta dan pengorbanan.
Maka, ingatlah selalu, pendidikan bukanlah sebuah hak yang datang tanpa usaha, melainkan sebuah anugerah yang diperjuangkan. Setiap buku yang kita baca, setiap ilmu yang kita serap, adalah cerminan dari tangan-tangan yang tak pernah lelah bekerja, dari hati-hati yang tak pernah berhenti berharap. Biaya yang terbayar bukan hanya sekadar angka, melainkan sebentuk kasih sayang yang tak terhingga, sebuah janji untuk masa depan yang lebih cerah, yang terus digemakan dari generasi ke generasi: bahwa untuk mencapai kemuliaan, selalu ada "bea" yang harus dibayar, dan harga itu adalah sebuah pengorbanan yang paling mulia.
: Selamat menjadi siswa MTsN Kelas 7, anakku. Tetap menjadi anak yang rajin, pintar dan beriman
________________________________
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Jer Basuki Mawa Bea : Pendidikan, Kisah Pengorbanan yang Tak Pernah Usai", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/agus55303/6868a8a6c925c47d1252eea4/jer-basuki-mawa-bea-pendidikan-kisah-pengorbanan-yang-tak-pernah-usai?page=all#goog_rewarded