Melukis Bayangan Elara



Ilustrasi : Aruna menatap dengan penuh kegalauan. Dok. Pribadi. 

Senja itu jatuh dengan lambat, membasuh Kota Lama dengan nuansa jingga dan ungu yang melankolis. Di salah satu beranda tua yang menghadap jalan berbatu, duduklah seorang perempuan bernama Aruna. Usianya kini menginjak kepala empat, namun sorot matanya masih memancarkan keremangan masa lalu yang tak kunjung padam. Di tangannya, sebuah cangkir teh hangat mengepul, namun uapnya tak mampu menghangatkan dingin yang telah lama bersarang di hatinya.

"Luka paling luka adalah ketika satu detik melihatmu, tetapi sulit melupakan, butuh sepanjang waktu," bisiknya lirih, mengulangi kalimat yang entah mengapa selalu terngiang dalam benaknya. Kalimat itu bukan sekadar rangkaian kata, melainkan inti dari seluruh perjuangan hidupnya.

Dua puluh tahun yang lalu, Aruna adalah seorang mahasiswi seni yang penuh gairah, dengan impian melukis dunia dalam warna-warna cerah. Suatu sore, saat ia sedang sketsa di sebuah kafe kecil, seorang laki-laki masuk. Hanya sedetik. Mata mereka bertemu. Hanya sekilas. Namun, di antara tatapan itu, ada percikan yang menyambar, seolah waktu berhenti, dan alam semesta berkonspirasi untuk mengikat dua jiwa.

Ilustrasi Elara sedang memainkan gitar kesayangannya. Dokpri


Laki-laki itu, Elara, hanya memesan kopi dan pergi. Tidak ada perkenalan, tidak ada basa-basi, bahkan tidak ada senyum. Hanya tatapan mata itu. Tetapi bagi Aruna, tatapan itu adalah sebuah puisi tanpa kata, melukiskan janji-janji yang tak pernah terucap, dan

Sejak hari itu, Aruna mencari Elara. Di setiap sudut kota, di setiap wajah yang melintas, di setiap kafe yang dikunjunginya, bayangan Elara menghantuinya. Ia bertanya pada teman-teman, mencari di daftar mahasiswa, bahkan sesekali berharap bertemu dengannya secara kebetulan. Namun, Elara tak pernah muncul lagi. Ia seolah hanya ada di detik itu, detik yang mengubah segalanya.

Waktu berlalu. Aruna lulus, menjadi pelukis ternama dengan karya-karya yang penuh makna dan kesedihan yang samar. Banyak yang memuji kedalaman emosi dalam lukisannya, tanpa tahu bahwa kedalaman itu bersumber dari satu detik yang tak terlupakan. Ia pernah mencoba menjalin hubungan, membuka hati untuk orang lain, tetapi setiap kali ia melakukannya, bayangan Elara muncul, menghapus setiap jejak kebahagiaan baru.

Cinta yang tak terucap, pertemuan yang terlalu singkat, dan kenangan yang terukir terlalu dalam. Itulah "luka paling luka" bagi Aruna. Ia tahu, secara rasional, ini tidak masuk akal. Bagaimana bisa seseorang yang hanya dilihat sekilas memiliki kekuatan sebesar itu? Namun, hati tidak pernah rasional. Ia adalah kanvas yang menerima setiap goresan, baik yang disengaja maupun tidak.

Suatu hari, saat Aruna sedang membersihkan studio lamanya, ia menemukan sebuah sketsa lama yang pernah ia buat di kafe itu. Di pojok bawah, ia menuliskan tanggal dan sebuah catatan kecil: "Mata itu. Mengapa?" Di baliknya, terselip sebuah foto hitam putih. Itu adalah foto Elara, diambil secara sembunyi-sembunyi oleh seorang teman Aruna yang kebetulan mengenal Elara. Temannya memberitahu Aruna bahwa Elara adalah seorang musisi muda berbakat yang baru saja akan pergi ke luar negeri untuk mengejar impiannya, dan saat itu sudah berada di bandara.

Ilustrasi Bayangan Aruna kepada Elana Dokpri

Aruna menatap foto itu. Wajah yang sama, mata yang sama, namun kini ada senyum tipis yang tak pernah ia lihat. Di baliknya, teman Aruna menulis: "Ia pergi untuk selamanya, Aruna. Kejarlah kebahagiaanmu sendiri."

Seketika, sebuah pencerahan menyapu Aruna. Elara telah pergi, mengejar mimpinya. Dan ia? Ia telah menghabiskan dua puluh tahun terjebak dalam satu detik, membiarkan kenangan sesaat merenggut "sepanjang waktu" yang seharusnya ia isi dengan kebahagiaan dan petualangan baru. Luka itu nyata, tetapi ia telah memberinya kekuatan yang tak terduga. Rasa sakit itu telah memurnikan jiwanya, menginspirasi seninya, dan membentuknya menjadi pribadi yang lebih kuat dan berempati.

Aruna tersenyum, senyum yang tulus setelah sekian lama. Bukan senyum melupakan, tetapi senyum menerima. Menerima bahwa luka itu adalah bagian dari dirinya, bagian dari perjalanannya. Ia menyadari bahwa melupakan bukan berarti menghapus, melainkan memberi tempat yang berbeda. Memberi tempat bagi kenangan itu untuk menjadi inspirasi, bukan belenggu.

Ia bangkit dari kursinya, berjalan menuju kanvas kosong di studio. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa bebas. Ia tidak akan melupakan detik itu, karena detik itu telah mengajarkan kepadanya tentang kekuatan cinta yang tak terucap, tentang keindahan kerentanan, dan yang terpenting, tentang betapa berharganya setiap detik yang tersisa untuk diciptakan dan dijalani dengan penuh keberanian.

Senja itu sempurna, tidak lagi melankolis, melainkan penuh harapan. Aruna meraih kuasnya, siap untuk melukis babak baru dalam hidupnya, sebuah babak yang terinspirasi oleh luka, namun diwarnai oleh kebebasan dan kebahagiaan yang baru ditemukan.




________________________________
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Melukis Bayangan Elara", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/agus55303/68549c39ed64157acc468092/melukis-bayangan-elara?page=all#goog_rewarded

Admin usudo.id

Tulisan di Blog ini adalah Kumpulan Tulisan saya , baik yang pernah dipublikasikan di Media Online maupun yang saya upload hanya di sini

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama