Melampaui Titik Batas

Titik Batas : Dok. Pribadi. 
Di sebuah sudut kota, di antara hiruk-pikuk janji dan harapan, seorang lelaki terhuyung. Ia telah menumpuk asa, sejengkal demi sejengkal, pada pilar-pilar yang tampak kokoh: tunjangan kinerja yang terengut. Lalu ada pula bantuan yang diharapkan menjadi angin segar di tengah badai, ternyata hanya ilusi. Dan, sebagai paku terakhir yang menancap di dada, gaji yang terlambat, membiarkan pikiran berkelana jauh menembusi kemampuan akal. Setiap hari adalah penantian, setiap detik adalah perhitungan, yang pada akhirnya hanya berujung pada kehampaan. Harapan yang disemai pada manusia, kini hanya menyisakan kerontang.

Ada kalanya, dalam bentangan usia yang kita arungi, kita terpaku pada satu titik. Titik itu adalah manusia, dengan segala janjinya yang fana, dengan segala hitungan akalnya yang terbatas. Kita tanam benih-benih harapan di tanah janji mereka, menyiraminya dengan doa dan usaha, menanti tunas-tunas rezeki yang kita yakini akan muncul. Kita susun peta-peta kemungkinan, merinci setiap langkah, setiap celah, seolah rezeki adalah sebuah rumus yang pasti. Seolah keberuntungan adalah hasil akhir dari perhitungan yang presisi.

Namun, seringkali, peta itu lusuh sebelum kita sampai ke tujuan. Harapan yang kita pupuk dengan begitu gigih, layu sebelum berkembang. Janji-janji itu menguap bagai embun pagi, tak menyisakan apa pun kecuali kekosongan yang menganga. Di titik inilah, kesadaran itu hadir, menyergap seperti embusan angin dingin di musim kemarau. Bahwa segala yang kita sandarkan pada manusia, adalah ilusi.

Maka, ketika kenyataan menampar sekeras itu, ketika segala upaya dan perhitungan berujung nihil, muncullah bisikan yang menggema dari kedalaman jiwa, atau mungkin dari warisan kebijaksanaan para sufi: "Gusti Allah bercandanya kelewatan." Kalimat ini bukan keluhan seorang hamba yang putus asa, bukan pula protes seorang anak yang merasa dipermainkan. Ini adalah sebuah paradoks spiritual, sebuah pengakuan akan kebesaran dan kemahaluasan takdir yang melampaui nalar manusia.

Ia adalah senyum getir, yang di dalamnya terkandung penerimaan mutlak. Sebuah isyarat bahwa kita terlalu serius dengan perhitungan duniawi, terlalu terpaku pada logika materialistik, sehingga melupakan dimensi Ilahiah yang melampaui segalanya. "Canda" di sini bukanlah sebuah olok-olok, melainkan sebuah teguran lembut yang sarat hikmah. Ia adalah cara semesta mengingatkan kita bahwa ada kekuatan yang jauh lebih besar, jauh lebih tak terduga, dari segala rencana yang kita susun. Ini adalah cara Tuhan untuk membuka mata hati kita, bahwa sumber rezeki itu bukan manusia, melainkan Dzat yang Maha Memberi.

Dan di situlah, keindahan sejati terkuak. Bahwa rezeki Gusti Allah itu laksana mata air yang muncul dari bebatuan kering, tak terduga, tak terpikirkan. Ia bisa datang melalui senyum seorang pedagang kecil yang tiba-tiba memberimu diskon, melalui ide cemerlang yang muncul di tengah malam buta, atau bahkan dari kegagalan yang justru membuka pintu-pintu keberhasilan yang sebelumnya tak terlihat. Rezeki itu bukan hanya materi; ia bisa berupa kesehatan yang prima, kedamaian hati yang tak ternilai, atau pertemuan tak terduga dengan seseorang yang membawa berkah.

Jangan pernah membatasi alirannya pada sumur-sumur yang kita gali sendiri. Karena Gusti Allah memiliki samudra karunia yang tak bertepi, dan Ia memilih cara-cara yang paling ajaib untuk menyampaikan rezeki-Nya. Maka, biarlah hati ini merdeka dari belenggu harapan pada manusia. Biarlah ia berlabuh pada keyakinan teguh bahwa sumber rezeki yang sejati hanyalah dari-Nya, dan Ia akan senantiasa mencukupkan dengan cara-cara yang paling indah, bahkan ketika akal kita tak sanggup lagi memahaminya.

Kini, setelah badai perhitungan yang tak kunjung reda, dan pahitnya realita terus merasuk hingga ke sumsum, sebuah pemahaman baru perlahan menyemai. Bukan lagi pada janji-janji yang menguap, bukan pula pada angka-angka yang belum juga tiba. Ada ketenangan yang datang dari kesadaran bahwa kuasa semesta jauh melampaui segala skema. Kita telah diajari, bahwa dalam ketiadaan yang kita rasakan, justru tersembunyi kelimpahan yang tak terhingga. Rezeki itu, pada akhirnya, adalah misteri yang hanya tersingkap bagi hati yang berpasrah, tak lagi menggantungkan diri pada hitungan fana, melainkan tunduk pada kehendak Ilahi yang Maha Memelihara.


________________________________
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Melampaui Titik Batas", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/agus55303/686652a3c925c4505b1bd9d2/melampaui-titik-batas





Admin usudo.id

Tulisan di Blog ini adalah Kumpulan Tulisan saya , baik yang pernah dipublikasikan di Media Online maupun yang saya upload hanya di sini

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama