![]() |
Kereta Malam : Dok. Pribadi. |
Tulisan ini adalah lanjutan dari "Kereta Terakhir dan Harapan Usang"
Aku menutup buku harian itu perlahan. Tanganku memegang sampulnya yang usang, merasakan jejak-jejak kehidupan yang tumpah di dalamnya. Buku ini bukan hanya deretan kata, melainkan cerminan hati yang gundah, sebuah suara dari ribuan guru honorer yang mungkin tak pernah didengar. Dan yang membuat setiap kata di dalamnya terasa menusuk adalah kenyataan bahwa aku juga salah satu dari mereka. Aku adalah seorang guru honorer, menanti pengumuman PPPK Tahap 2, sama persis seperti penulis buku harian ini.
Panggilan kereta ke Banyuwangi terdengar lantang, memecah
kesunyian malam. Aku berdiri, membawa serta secuil kisah pilu yang tak sengaja
kutemukan di ruang tunggu Stasiun Jember ini. Sebuah pengingat, bahwa di balik
hiruk-pikuk perjalanan, ada perjuangan sunyi yang tak henti-hentinya bergema.
Dan kini, perjuangan itu terasa semakin nyata, semakin menggema di dadaku. Ini
adalah perjalanan pulangku ke Banyuwangi, kota yang dijuluki Sunrise of Java,
namun malam ini, rasanya seperti matahari enggan terbit di hatiku.
Kereta melaju, membelah kegelapan malam. Lampu-lampu kota
Jember perlahan mengecil di kejauhan, digantikan hamparan sawah dan siluet
pepohonan. Aku bersandar di kursi, buku harian itu masih dalam genggamanku,
kini terasa seperti cermin. Setiap kalimat yang kubaca tadi terasa begitu
nyata, seolah bukan sekadar tulisan tangan di lembaran kertas, melainkan gema
dari hatiku sendiri yang sedang gundah.
Tanggal yang tertera di buku harian itu, 22 Juni 2025,
membuatku tersentak. Hari ini adalah 30 Juni 2025. Hanya berselang seminggu
dari tanggal penulisannya. Itu berarti, apa yang dia rasakan saat menulisnya
adalah persis apa yang kurasakan sekarang. Kekhawatiran akan pengumuman PPPK
Tahap 2, bisikan tentang formasi yang "habis", ketakutan akan kode
'L' yang membuat nilai tinggi sekalipun tak berarti---semua itu adalah bagian
dari realitasku saat ini.
"Giliran Teknis sudah keluar, Bu. Katanya, meski nilai
tinggi, nggak ada kode 'L'," kalimat dari Bu Siti yang kubaca di buku
harian itu seperti berputar-putar di kepalaku. Pesan-pesan di grup WhatsApp
honorer di ponselku tak kalah riuh. Kami, para guru honorer dari Banyuwangi dan
Jember, saling menguatkan, saling berbagi rumor, namun juga saling menyebarkan
kecemasan yang sama. Ini adalah penantian yang menyiksa, penantian yang
merenggut tidur dan ketenangan.
Aku memandang tumpukan berkas yang kubawa di tas ranselku:
fotokopi sertifikasi pendidik, transkrip nilai, dan lembar-lembar bukti
pengabdianku selama belasan tahun mengajar di Banyuwangi. Bertahun-tahun aku
mendedikasikan diri di sebuah sekolah dasar di pelosok desa, memastikan
anak-anak bisa membaca, menulis, dan memiliki impian. Sama persis seperti
penulis buku harian ini, aku percaya bahwa pengabdian ini suatu hari akan
membuahkan hasil. Namun, realitas seringkali terasa lebih pahit.
Kekhawatiran tentang status di database BKN yang disinggung
penulis buku harian itu adalah momok nyata bagi kami semua. Kami merasa
kompetensi di kelas, inovasi dalam mengajar, atau senyum tulus anak-anak didik,
tak lebih berarti dari sederet angka dan kode dalam sistem komputer. Jam
mengajar kami sering dipangkas, diberikan kepada guru ASN atau PPPK baru,
seolah-olah kami hanyalah pelengkap yang bisa dipinggirkan kapan saja. Itu
bukan sekadar soal cengeng; itu soal martabat dan pengakuan.
Pikiran tentang usia juga tak henti menghantuiku. Aku juga
bukan lagi guru muda yang baru lulus kuliah. Rambutku mulai dihiasi uban,
kerutan di wajahku semakin jelas. Kami punya keluarga, tanggungan, dan impian
sederhana untuk hidup layak di masa senja. Apakah pengabdian yang telah kami
berikan puluhan tahun akan berakhir begitu saja, tanpa ada kepastian?
Jendela kereta memantulkan bayangan diriku yang tampak
lelah. Di luar, sawah-sawah membentang, diselimuti kabut tipis. Aku teringat
pada kalimat yang baru saja kubaca: "Jember, kota tembakau yang selalu
kuhirup udaranya, menjadi saksi bisu setiap tetes peluh dan setiap air mata
harapan yang tumpah." Kini aku menambahkan, Banyuwangi, dengan julukan
"Sunrise of Java" yang ironis bagi kami yang mendamba kepastian, juga
menjadi saksi setiap fajar yang kami sambut dengan harap, setiap senja yang
kami akhiri dengan kegelisahan.
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Besok
pagi, aku akan tiba di Banyuwangi, dan aku harus tetap mengajar di sekolah
tempatku mengabdi. Anak-anak didik tak boleh melihat kegelisahan di mataku.
Mereka berhak mendapatkan yang terbaik, tak peduli apa pun yang terjadi dengan
nasib gurunya. Namun, jauh di sudut hati, sebuah bisikan lirih muncul: sampai
kapan kami harus terus begini? Sampai kapan kami harus menanggung luka yang tak
terlihat ini?
Buku harian di tanganku terasa semakin berat. Ini bukan
sekadar buku yang kutemukan, tapi sebuah cermin. Cermin yang menunjukkan bahwa
aku tidak sendirian dalam perjuangan ini, bahwa ada jiwa lain yang merasakan
getir yang sama, bahkan di kota yang berbeda. Cermin yang memperkuat setiap
perasaan yang kurasakan. Dan justru karena itu, aku merasa lebih terpicu.
Terpicu untuk berharap, terpicu untuk terus berjuang, karena ada suara lain
yang bergema, bersamaku, dalam penantian yang tak berujung ini.
________________________________
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Matahari Enggan Terbit di Kota Sunrise of Java", Klik untuk baca:https://www.kompasiana.com/agus55303/68629c8cc925c46e3a17e9f2/matahari-enggan-terbit-di-kota-sunrise-of-java?page=all#section1