![]() |
Titik Paling harap. Dok. Pribadi. |
Prolog :
Aku melihat seorang gadis duduk terdiam di sudut kafe yang ramai. Di tangannya, ia menggenggam sebuah handphone, jemarinya bermain di atas layar dengan gerakan yang tampak tak bersemangat. Wajahnya yang sendu terselubung bayang-bayang kesedihan yang mendalam. Sesekali, ia menyeka air mata yang jatuh tanpa henti, seolah ada beban berat yang tak terucapkan di hatinya. Di tengah kebisingan dunia yang terus berputar, ada sebuah cerita yang terpendam di balik tatapan matanya yang hampa, menunggu untuk diungkapkan.
Di tengah kesibukan dunia yang terus berputar, ada sebuah
cerita sederhana yang berdiam dalam hati seorang gadis. Gadis yang sudah lama
belajar tentang sabar, tentang cinta, dan tentang menunggu. Namun, kali ini,
sabar itu mulai memudar, perlahan-lahan hilang ditelan waktu. Di hati gadis
ini, ada sebuah harapan yang terus berbisik, bertanya-tanya: "Kapan kita
akan bersama selamanya?"
Kekasihnya, pria yang ia cintai dengan seluruh jiwa dan
raganya, telah berada di sisinya selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Mereka telah berbagi tawa, berbagi air mata, saling memeluk dalam lelah, dan
mencinta dalam setiap bisikan. Namun ada satu hal yang belum mereka lakukan,
satu janji yang belum ia dengar dari bibir kekasihnya: lamaran itu.
Dia tahu, waktu memang tak bisa dipaksakan. Dia tahu, cinta
tak seharusnya diburu. Tapi, di sudut hati yang paling dalam, ada kerinduan
yang tak bisa ia ungkapkan. Rindu untuk menjadi satu, tanpa ada lagi ruang
kosong di antara mereka. Rindu untuk mendengar janji suci yang terucap di depan
altar, untuk tahu bahwa hari-hari mendatang akan mereka lalui bersama, tak lagi
terpisah oleh apapun.
Dia ingin dilamar, bukan karena ego atau rasa ingin
memiliki, tetapi karena hatinya percaya bahwa mereka bisa bersama lebih dari
sekadar berjanji. Mereka sudah mengenal satu sama lain dalam berbagai
bentuk---saat bahagia, saat terluka, dan saat jatuh. Mereka sudah bersama
melewati dunia yang tak sempurna ini. Dan kini, ada satu langkah lagi yang
ingin diambil---untuk mengikat cinta mereka dengan sebuah cincin, sebagai
simbol dari komitmen yang telah mereka bangun bersama.
Namun, yang lebih menyesakkan adalah rasa takut yang datang
bersama setiap doa yang ia panjatkan. Takut jika semua ini hanya ada dalam
imajinasinya saja, takut jika ia salah berharap terlalu lama. Cinta ini begitu
besar, namun apakah cukup untuk menyatukan dua jiwa dalam ikatan yang lebih
kuat? Ataukah mungkin, cintanya hanya akan menjadi kenangan indah dalam cerita
yang tak pernah jadi kenyataan?
"Aku mencintaimu, lebih dari apapun di dunia ini. Cinta
ini lebih besar dari sekedar kata-kata yang bisa kita ucapkan. Ia adalah luka
yang kita rawat bersama, air mata yang kita bagi, dan tawa yang kita ciptakan.
Namun, apakah cinta kita akan cukup untuk menutup luka-luka yang ada di dalam
hati kita? Ataukah ini akan menjadi cinta yang tak pernah selesai?"
Dengan hati yang berdebar, ia menunggu. Seperti bunga yang
menunggu matahari, seperti langit yang menanti hujan. Dengan sabar, meski ada
kerinduan yang semakin dalam. Ia tahu, lamaran bukanlah akhir dari perjalanan
cinta mereka, tetapi hanya sebuah awal dari perjalanan baru. Sebuah perjalanan
yang lebih abadi, lebih sempurna, lebih penuh.
Namun, jika hari itu belum datang, jika lamaran itu masih
terkatung-katung di udara, maka ia akan terus menunggu, dengan harapan yang
lebih kuat dari sebelumnya. Karena di dalam hatinya, ada satu doa yang tak
pernah pudar: "Semoga cinta ini tak hanya tinggal di angan, tapi menjadi
kenyataan yang abadi."
"Jika hati ini bisa menangis, maka akan kuletakkan
semua air mataku di hadapanmu, agar kau tahu betapa dalamnya cinta ini.
Luka-luka itu tak akan pernah hilang, tapi aku akan selalu memilih untuk
mencintaimu meski hati ini terkadang remuk. Aku ingin kita menjadi satu, meski
hidup kita penuh dengan luka dan harapan yang tak pasti. Karena aku percaya,
bersama kita bisa menjadi lebih dari sekadar cinta, lebih dari sekadar
luka."
Dan pada akhirnya, meskipun ia menunggu dengan penuh cinta
dan harapan, tak ada yang lebih ia inginkan selain satu kalimat yang bisa
mengubah segalanya: "Aku ingin menghabiskan sisa hidupku denganmu,
menikahimu, dan mencintaimu selamanya."
_____________________
https://www.kompasiana.com/agus55303/6741c0ce34777c7bdf69e642/pada-titik-paling-harap?page=all#goog_rewarded