![]() |
Ilustrasi : Mbilung Sedang Membaca Puisi. |
Mbilung Menggugat: Puisi Sarkas sang Punakawan untuk Negeri Seberang
Angin malam di Negeri Seberang berbisik, membawa serta aroma
dupa dan janji-janji manis dari para Begawan, para Resi, para Wiku dan beberapa Ajar. Namun, di antara gemerlap pentas
budaya yang siap digelar, terselip sebuah bisikan lain: bisikan kegelisahan,
tentang etos yang luntur dan lingkungan yang terabaikan. Malam itu, bukan
seorang pujangga terkemuka yang akan tampil, melainkan sesosok punakawan tambun
yang biasanya hanya bertugas melawak. Bersiaplah, karena Mbilung, si tukang
banyol dari Negeri Seberang, akan mendadak menjelma menjadi sastrawan,
membacakan puisi yang tak hanya menggetarkan panggung, tetapi juga menampar
kenyataan.
Panggung Pentas Budaya 2025 di Padepokan Giri Wening malam itu
gemerlap. Sorot lampu menari di antara kain batik dan ukiran kayu, sementara
riuh rendah penonton memenuhi arena. Semua mata tertuju pada sosok tak terduga
yang kini berdiri di podium, memegang setumpuk kertas lusuh dengan gestur
dramatis: Mbilung, punakawan tambun dari padepokan Giri Wening, yang dikenal karena
celetukan lucunya, bukan untaian kata bermakna.
Namun, malam itu Mbilung berbeda. Ia tak lagi mengenakan
baju compang-campingnya. Tubuhnya terbalut beskap yang sedikit kekecilan,
rambutnya disisir klimis—usaha keras untuk tampil serius. "Saudara-saudari
sebangsa dan setanah air!" suaranya menggelegar, membahana. "Malam
ini, izinkan saya, Mbilung, yang biasanya hanya sibuk mengipas dan mengomel,
untuk membacakan buah pikiran dari jiwa yang resah!"
Gumam keheranan menyeruak. Mbilung? Sastrawan? Namun, rasa
penasaran mengalahkan segalanya. Dengan napas memburu, Mbilung mulai
mendeklamasikan puisinya. Judulnya, "Ode untuk Keringat yang
Menguap."
"Di meja kerja para Ajar sana, tumpukan berkas menggunung,"
Mbilung memulai, matanya melotot. "Kopi dingin membeku, semangat pun turut
beku. Katanya 'profesional', katanya 'berdedikasi', tapi mengapa gawai lebih
sering digenggam, dibanding pena yang beraksi?"
Kata-kata Mbilung mengalir deras, penuh sindiran dan
metafora tajam. Ia mengkritisi segala bentuk kemalasan dan ketidakpedulian yang
dilihatnya. Tentang janji-janji pekerjaan yang molor, tentang rapat yang hanya
berisi basa-basi tanpa hasil nyata.
"Kau bilang, 'Mari jaga kebersihan, lingkungan Padepokan adalah
cerminan'," lanjut Mbilung, nadanya meninggi, seolah menunjuk ke arah
barisan pejabat di kursi VIP. "Tapi remah kue berserakan di mejaku,
puntung rokok bertebaran di kakiku. Kau sibuk menata taman, kami sibuk
menyembunyikan sampah di laci-laci. Indah katamu, rapi katamu, padahal itu
hanya polesan di atas debu!"
Penonton terdiam, terpukau. Beberapa mengangguk setuju,
lainnya tampak gelisah. Mbilung, dengan segala keganjilannya, berhasil menusuk
hati banyak orang dengan kata-kata lugasnya. Setiap baris puisi Mbilung seolah
menampar keras realitas pahit yang sering disamarkan. Ia mengulas tentang
orang-orang yang hanya pandai menuntut hak tanpa pernah menunaikan kewajiban,
tentang mereka yang berlindung di balik birokrasi tanpa pernah memberikan
solusi.
"Kalian berbicara sebagai agen perubahan," seru Mbilung
di akhir puisinya, suaranya parau menahan emosi. "Tapi tanganmu hanya
untuk menunjuk kesalahan orang lain, sementara tangan kami kotor oleh pekerjaan
yang tak tuntas. Kau menuding kami malas, kami tak inovatif, kami tak
bertanggung jawab! Padahal, menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri!"
Kalimat terakhir Mbilung bagaikan petir di siang bolong.
Para hadirin tersentak. Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Sebuah
peribahasa Jawa yang berarti mengkritik atau mempermalukan orang lain, padahal
diri sendiri juga memiliki kesalahan yang sama atau bahkan lebih besar.
Seketika, suasana menjadi hening. Puisi Mbilung bukan hanya
kritikan untuk etos kerja dan kebersihan, tapi juga sindiran keras terhadap
kemunafikan. Banyak dari Begawan yang merasa tersindir, wajah mereka memerah.
Para siswa dan seluruh mahaguru yang awalnya terpesona, kini menyadari makna tersembunyi dari
setiap bait puisi Mbilung. Mbilung, sang punakawan, secara tak langsung juga
mengkritik dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya, yang terkadang terlalu
mudah menghakimi tanpa bercermin, yang hanya bisa mengkritik tanpa pernah punya
andil dalam mencari solusi.
Malam itu, Mbilung tidak hanya menjadi sastrawan dadakan,
tetapi juga cermin bagi Padepokan Giri Wening. Puisi yang ia bacakan bukan sekadar
hiburan, melainkan tamparan yang menyadarkan, bahwa kadang kala, kritik paling
tajam datang dari mereka yang paling tak terduga, dan ironisnya, sering kali
kritik itu berlaku untuk semua, termasuk yang melontarkannya.
Ketika tirai panggung Pentas Budaya 2025 akhirnya menutup,
dan sorot lampu meredup, gaung suara Mbilung masih menggema di benak para
hadirin. Namun, dampaknya tak berhenti di sana. Tak sampai semalam, video
Mbilung membaca puisi itu mendadak viral. Cuplikan penggalan aksinya bertebaran
di beranda Instagram, mengisi Reel postingan, dan membanjiri status-status
WhatsApp. Bahkan, salah satu media online terkemuka Negeri Seberang tak mau
ketinggalan, menampilkan cuplikan video tersebut dengan judul yang bombastis. Seaka menampar muka para pengurus, Pandita, Wiku, Mahaguru di Padepokan Giri Wening.
Puisi sarkasnya, yang pada mulanya disambut tawa dan
keheranan, perlahan berubah menjadi cermin yang menakutkan bagi seantero
negeri. Mbilung, sang punakawan, telah menyelesaikan tugasnya. Ia tak hanya
menghibur, tetapi juga membuka mata, mengingatkan bahwa kritik paling tajam
sering kali adalah kritik yang juga berlaku untuk diri sendiri, terutama jika
ia datang dari seseorang yang berada di lingkaran masalah yang sama. Padepokan Giri Wening mungkin telah menyaksikan sebuah pentas seni, namun yang lebih
penting, ia telah disuguhkan sebuah refleksi, tentang etos kerja yang luntur
dan kebersihan yang terabaikan, dan betapa mudahnya kita menepuk air di
dulang, terpercik muka sendiri. Kini, semua mata tertuju pada Padepokan Giri Wening di Negeri
Seberang, menantikan apakah gema puisi Mbilung akan membawa perubahan, atau
hanya berlalu sebagai tren viral sesaat.