![]() |
Ilustrasi : jalan ditempat (*). |
Dalam ranah pendidikan kejuruan yang kian berkembang,
program Double Track di Sekolah Menengah Atas (SMA) kerap digadang-gadang
sebagai terobosan. Namun, apa jadinya jika sebuah inisiatif ambisius yang
dirancang untuk membekali siswa dengan keterampilan praktis ini justru berjalan
di tempat, terjebak dalam pusaran frustrasi dan ketidakpedulian? Inilah
gambaran nyata yang mungkin tengah dialami oleh program Double Track Anda, di
mana semangat dan ide-ide yang bergemuruh di benak para penggagas justru tak
menemukan gema dukungan dari tim internal. Sebuah ironi yang memilukan,
terutama ketika inti dari keberhasilan program, yakni DT Mart—unit usaha
siswa—justru diambang penghapusan oleh manajemen sekolah.
Padahal, DT Mart bukanlah sekadar sebuah toko atau ruang
usaha biasa. Ia adalah jantung program Double Track, sebuah laboratorium
hidup tempat siswa mengaplikasikan ilmu tata boga, manajemen, dan kewirausahaan
secara langsung. Keberadaannya bukan hanya formalitas, melainkan indikator
krusial yang mengukur sejauh mana siswa benar-benar menguasai keterampilan
vokasi yang diajarkan. Bayangkan, bagaimana mungkin sebuah program yang
menjanjikan "jalur ganda" menuju dunia kerja atau usaha dapat disebut
berhasil jika wadah praktikum utamanya justru lumpuh, bahkan dianggap tak lagi
relevan? Ironisnya, kelumpuhan ini bukan tanpa sebab. Narasi yang terkuak
adalah adanya dugaan pengelolaan yang tidak transparan dan motif
pengerukan keuntungan pribadi oleh trainer yang dipercaya mengubah DT
Mart dari wahana pembelajaran menjadi sekadar "formalitas pengisi jam
pelatihan."
Dampak dari stagnasi dan ketidakberesan ini merembet jauh
melampaui sekadar unit usaha yang mandek. Sebuah alarm keras berbunyi ketika dana
kegiatan dari ITS tak kunjung cair akibat tugas-tugas Kelompok Usaha Siswa
(KUS) yang terbengkalai dan Laporan keuangan DT Mart tak kunjung selesai dan
tertutup. Ini adalah pukulan telak yang mengancam keberlangsungan operasional
dan inovasi program. Ketika pengelolaan KUS yang buruk bertemu dengan sikap
acuh tak acuh dari trainer yang seharusnya menjadi teladan, maka yang
terjadi adalah penurunan drastis pada track record Program Double
Track. Siswa yang seharusnya bersemangat mengasah jiwa wirausaha mereka
kini mungkin merasakan kekecewaan, melihat upaya mereka tak berarti dan harapan
mereka pupus di tengah jalan. Ini bukan hanya tentang kerugian finansial atau
administratif, melainkan juga kerugian moral dan kepercayaan yang jauh
lebih sulit untuk dipulihkan. Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin
program Double Track yang penuh potensi ini akan benar-benar kehilangan
tujuannya, bahkan terancam dihentikan karena dianggap tidak efektif atau tidak
mencapai target. Mengatasi masalah ini bukan sekadar tugas administratif,
melainkan sebuah misi penyelamatan yang mendesak demi masa depan pendidikan
kejuruan yang lebih relevan dan bermakna bagi generasi muda.
Situasi yang menimpa program Double Track ini lebih dari
sekadar masalah operasional; ini adalah cerminan dari kegagalan memahami
esensi pendidikan vokasi yang sesungguhnya. Mengeliminasi DT Mart sama
dengan mencabut akar dari pohon Double Track, meninggalkan hanya batang kering
tanpa buah. Jika tidak ada intervensi cepat dan strategis untuk menyelesaikan
tugas-tugas krusial yang terhambat, mengembalikan transparansi, dan menumbuhkan
kembali semangat di kalangan siswa serta trainer, maka program Double
Track yang penuh potensi ini akan selamanya tinggal sebagai catatan kaki dalam
sejarah sekolah, sebuah proyek ambisius yang berakhir tanpa arah, meredup
bersama impian para siswa yang ingin berwirausaha.
(*) Gambar tersebut menampilkan roda gigi berkarat yang tidak bergerak di tengah suasana pabrik tua yang suram dan statis. Roda gigi yang besar dan menjulang tinggi ini melambangkan potensi ide dan gagasan yang seharusnya menjadi penggerak. Namun, karat yang menyelimutinya dan ketiadaan pergerakan menunjukkan stagnasi dan kemandekan. Bayangan implementasi yang tidak pernah terwujud terasa nyata melalui suasana gelap dan berdebu di seluruh ruangan, seolah waktu telah berhenti dan segala upaya untuk mewujudkan gagasan tersebut sia-sia. Siluet samar seorang pekerja di kejauhan semakin memperkuat kesan kesepian dan kehampaan, menggambarkan kurangnya dukungan atau ketidakpedulian yang membuat ide-ide tersebut teronggok tak berdaya.