Ruang Rapat & Paradox Produktivitas: Antara Rutinitas Monoton dan Tuntutan Digital 🕰

Rapat Membosankan : Dok. Pribadi. 

Dalam ruang-rupat yang terbungkus tirai kusam, waktu mengalir lambat, memilin detik menjadi serat-serat bosan yang nyaris tak terasa. Di sana, di antara deretan kursi berbalut kain beledu pudar dan meja-meja berat yang menopang tumpukan berkas tak tersentuh, narasi selalu sama. Wajah-wajah yang akrab, memantulkan letih yang tak terucap, seolah setiap gagasan telah lama mengering, menyisakan kerontang yang hampa. Pemandangan ini, bagi banyak profesional, adalah sebuah gambaran nyata dari ritme kerja yang tak terelakkan: sebuah rutinitas yang membosankan, namun wajib diikuti.

Ketika Waktu Membeku dalam Diskusi

Kata-kata yang melayang di udara, seringkali hanya gema dari pertemuan yang lalu, berulang seperti mantra usang yang kehilangan kekuatannya. Setiap poin agenda, setiap diskusi, seperti aliran sungai yang tak pernah menemukan muara baru, hanya berputar-putar di palung yang sama. Decak pena yang sesekali terdengar, atau gesekan kertas yang memecah kesunyian, lebih mirip desah kelelahan daripada denyut kehidupan.

Fenomena ini bukan sekadar kemalasan individu atau kurangnya kreativitas. Seringkali, ini adalah cerminan dari struktur organisasi, birokrasi yang kaku, atau sekadar keharusan untuk menjaga "roda" tetap berputar. Rapat menjadi semacam ritual, sebuah forum di mana kehadiran lebih penting daripada kontribusi. Pembahasan yang bertele-tele, pengulangan poin-poin yang sudah jelas, atau keputusan yang sudah diketahui sebelumnya, semua ini menjadi bagian tak terpisahkan dari drama mingguan atau bulanan.

Ilusi Harapan di Ujung Koridor

Harapan, jika pun ada, seringkali hanyalah bayangan samar di ujung lorong waktu, sebuah janji yang tak kunjung terwujud. Di sana, dalam pengulangan yang abadi, setiap suara adalah bagian dari paduan suara monoton, menyanyikan lagu yang sama, tentang hal-hal yang selalu itu-itu saja. Kita tahu, jauh di lubuk hati, bahwa perubahan substansial jarang terjadi di dalam dinding-dinding ini. Namun, kita tetap duduk, mendengarkan, dan sesekali mengangguk, seolah-olah kita sedang berpartisipasi dalam sebuah proses yang krusial.

Mengapa kita bertahan? Karena di balik segala kebosanan itu, ada kewajiban. Rapat adalah jembatan penghubung, setipis apapun benangnya, yang menghubungkan departemen, tim, atau individu. Mereka adalah forum untuk penyelarasan informasi (meski seringkali berulang), pengambilan keputusan (meski kadang hanya formalitas), dan yang paling penting, untuk menunjukkan kehadiran dan komitmen kita pada sistem. Tanpa rapat, mungkin akan ada kekacauan atau setidaknya ketidakpastian yang lebih besar. Mereka adalah peredam gesekan dan penjaga status quo—sebuah fondasi yang tidak terlihat, namun vital.

Selalu itu-itu saja. Dok. Pribadi


Ketika Penampakan Lebih Penting dari Substansi

Ironisnya, di era digital ini, rutinitas membosankan itu justru menemukan panggung baru yang lebih terang. Pekerjaan tidak lagi hanya tentang hasil nyata, melainkan juga tentang dokumentasi visual dari prosesnya. Deretan foto selfie, flyer digital yang merangkum kegiatan, atau unggahan di media sosial menjadi bukti sahih bahwa sebuah pertemuan telah berlangsung.

Tak peduli seberapa monoton dan itu-itu saja agenda rapatnya, atau seberapa lelah wajah-wajah yang terpampang, yang terpenting adalah gambarannya tersaji. Seolah, di mata publik dan atasan, validitas sebuah pekerjaan diukur dari seberapa sering dan seberapa menarik kegiatan tersebut dibagikan di feed digital. Keharusan untuk "terlihat" produktif melampaui esensi produktivitas itu sendiri. Ini adalah ironi modern: kegiatan yang membosankan dan berulang, yang dulunya tersembunyi di balik tirai kusam, kini wajib diumbar sebagai bukti eksistensi dan aktivitas. Pekerjaan, pada akhirnya, hanya bisa ditunjukkan dengan deretan foto di flyer dan media sosial.

Di Persimpangan Antara Tugas dan Realitas

Maka, kita kembali ke ruangan yang sama, dengan wajah-wajah yang sama, dan agenda yang mungkin juga sama. Kita menghela napas, menyandarkan punggung pada kursi yang usang, dan bersiap untuk kembali menyatu dengan paduan suara monoton. Mungkin ada saatnya ketika percikan ide baru akan muncul, atau keputusan berani akan diambil. Namun, sampai saat itu tiba, kita akan terus menjadi bagian dari narasi yang tak lekang oleh waktu ini.

Ruang rapat, dengan segala kebosanan dan repetisinya, adalah sebuah mikrokosmos dari dunia kerja itu sendiri: penuh dengan tugas-tugas yang wajib diselesaikan, terlepas dari seberapa menarik atau membosankannya tugas tersebut. Ia adalah pengingat bahwa terkadang, kedisiplinan dan kepatuhan pada rutinitas adalah kunci untuk menjaga tatanan, bahkan di tengah tuntutan untuk selalu "menunjukkan" diri di hadapan khalayak digital. Dan dalam penerimaan akan keniscayaan ini, mungkin kita menemukan kedamaian yang aneh—kedamaian seorang prajurit yang setia pada barisannya, bahkan di medan perang yang sepi dan dibanjiri kilatan kamera ponsel

 

Admin usudo.id

Tulisan di Blog ini adalah Kumpulan Tulisan saya , baik yang pernah dipublikasikan di Media Online maupun yang saya upload hanya di sini

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama