Aku Masih Menemukan Hujan di Bulan Juni

Hujan di Bulan Juni ; Dok. Pribadi. 

Udara Banyuwangi terasa lebih lembap dari biasanya. Meski sudah pertengahan Juni, matahari enggan menunjukkan rupa terangnya. Langit kelabu pekat, dan sejenak kemudian, rintik-rintik mulai berjatuhan, perlahan namun pasti, membasahi daun-daun jalanan yang sudah menguning. Aku tersenyum tipis. Ah, hujan bulan Juni.

Ini bukan kali pertama hujan menyapa di bulan yang konon harusnya kering ini. Sejak kecil, aku sudah terbiasa dengan keanehan iklim di kota ini, terutama dengan letak geografisnya yang dekat pesisir. Namun, entah mengapa, hujan di bulan Juni selalu punya makna tersendiri bagiku. Ia bukan sekadar air yang turun dari langit; ia adalah bisikan, pengingat, dan kadang-kadang, penawar rindu.

Seperti yang pernah dituliskan Sapardi, "tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni." Aku selalu merasa ada kebenaran mutlak dalam baris itu. Bagaimana tidak? Di tengah terik ekspektasi kemarau, ia tetap datang, membawa kesejukan dan kelembapan, tanpa banyak bicara, tanpa perlu janji. Ia hanya ada, meresap ke dalam bumi, menyirami tunas-tunas yang mungkin merana dalam kekeringan.

Sore itu, aku duduk di bangku taman, di tengah keramaian yang seolah memudar oleh tirai hujan. Tanganku menggenggam jemarinya, kehangatan itu menenangkan jiwaku yang kadang gelisah. Setiap tetes hujan yang jatuh di sekeliling kami, di dedaunan pohon yang rindang, di aspal yang berkilau, seolah mengukir melodi. Sebuah melodi tenang, yang hanya bisa kudengar saat bersamanya.

Aku teringat pada semua hal yang pernah coba kusimpan rapat, yang tak ingin kuberi tahu siapa-siapa. Seperti juga Sapardi menuliskan tentang hujan yang "dirahasiakan awan kepada pohon berbunga itu." Begitulah hidup, penuh dengan rahasia yang tak terucap, perasaan yang terpendam, harapan yang tak terbagi. Namun, hujan ini seolah mengerti. Ia tidak bertanya, tidak menghakimi. Ia hanya ada, dan keberadaannya saja sudah cukup.

Beberapa waktu lalu, hatiku terasa gersang. Pekerjaan yang menumpuk, ekspektasi yang tak tergapai, dan sedikit rasa kesepian. Aku merasa seperti tanah yang retak, haus akan sesuatu. Dan di saat itulah, hujan bulan Juni datang lagi. Ia tidak datang dengan badai yang menggelegar, atau petir yang menyambar. Ia datang dengan kelembutan, rintik demi rintik, perlahan mengisi kekosongan.

Aku menutup mata, merasakan embun tipis di kulitku. Ini bukan sekadar hujan, pikirku. Ini adalah simbol ketabahan. Ketabahan untuk tetap ada, meski tak sesuai dengan musimnya. Ketabahan untuk terus memberi, meski tak selalu diharapkan. Dan ketabahan untuk menyimpan rahasia, menjaga kesunyian, dan membiarkan segala sesuatu tumbuh dalam diam.

Ketika hujan mulai mereda, meninggalkan genangan kecil di mana-mana, aku merasa ada sesuatu yang baru tumbuh di dalam diriku. Sebuah ketenangan, sebuah penerimaan. Seperti pohon berbunga yang akhirnya tahu rahasia awan, aku pun merasa sedikit lebih paham tentang rahasia diriku sendiri.

Hujan bulan Juni. Ia bukan anomali, bukan kesalahan alam. Ia adalah sebuah anugerah, sebuah pengingat bahwa keindahan bisa ditemukan di luar ekspektasi, bahwa ketenangan bisa datang dalam ketidakpastian, dan bahwa ada kekuatan dalam kesunyian yang tabah. Dan aku, aku masih menemukan hujan di bulan Juni, dan bersamanya, aku menemukan sedikit lebih banyak tentang diriku.

  




________________________________
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Aku Masih Menemukan Hujan di Bulan Juni", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/agus55303/684aa5c5c925c478054ec613/aku-masih-menemukan-hujan-di-bulan-juni

 

Admin usudo.id

Tulisan di Blog ini adalah Kumpulan Tulisan saya , baik yang pernah dipublikasikan di Media Online maupun yang saya upload hanya di sini

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama