Kaca Mata

Kaca Mata Patah : Dok. Pribadi. 

Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah dan kesunyian yang menggantung di udara sore itu. Bara, dengan jemari gemetar, menatap nanar objek di tangannya. Kacamatanya. Bukan sekadar alat bantu penglihatan, melainkan sepasang jendela yang selama tiga puluh tahun terakhir membentuk persepsinya tentang dunia. Kini, engsel kirinya patah, melintir tak berdaya, membuat lensa kanan menggantung miring seperti mata yang lelah.

Seumur hidup Bara adalah tentang keteraturan, tentang garis-garis lurus yang rapi. Ia seorang pustakawan, hidup di antara rak-rak buku yang menjulang, di mana setiap judul memiliki tempatnya, setiap kisah memiliki alurnya yang jelas. Kacamatanya adalah perpanjangan dirinya, simbol dari kejernihan intelektual dan ketelitian yang ia banggakan. Melalui lensa itu, ia menelaah dunia, menyortir fakta dari fiksi, membedakan nuansa abu-abu menjadi hitam dan putih yang tegas.

Namun, sore ini, dunia Bara tiba-tiba kabur. Bukan hanya karena lensa yang kini tak lagi menempel sempurna, tapi juga karena realitas yang mendadak retak di hadapannya.

"Sudah kubilang, jangan terlalu keras memegang," suara Bu Rina, tetangga sebelah yang selalu penuh nasehat, terngiang di telinganya. Bara baru saja beradu argumen dengannya tentang pohon mangga yang dahan-dahannya menjuntai ke halaman Bara. Biasanya, Bara akan merespons dengan argumen logis, menunjuk pada peraturan kota atau bahkan mengutip pasal-pasal tertentu. Tapi tadi, entah mengapa, emosinya memuncak. Ia membanting gagang kacamata di meja saat hendak mengambil buku, dan... patah.

Kini, dengan penglihatan yang terganggu, ia melangkah keluar ke beranda. Lampu jalan mulai menyala, namun cahayanya tampak pecah menjadi seribu serpihan. Pohon mangga Bu Rina yang biasanya ia lihat sebagai "masalah" kini tampak berbeda. Tanpa fokus sempurna, daun-talas yang basah berkilau memantulkan cahaya. Bayangan yang jatuh di tanah terlihat lebih lembut, tidak seserius sebelumnya.

Bara mencoba memperbaiki kacamatanya, namun sia-sia. Tangkainya yang patah menjadi metafora untuk kerapuhan dirinya yang baru saja terkuak. Selama ini, ia selalu bersembunyi di balik citra sempurna dan rasionalitas yang ia proyeksikan melalui kacamatanya. Ia jarang membiarkan emosi menguasainya, takut terlihat "tidak teratur". Tapi insiden kecil dengan Bu Rina, dan kini kacamata yang patah, memaksanya untuk menghadapi sisi dirinya yang tidak terkendali.

Malam semakin larut. Bara memutuskan untuk tidak memakai kacamatanya sama sekali. Ia membuka jendela lebar-lebar. Suara jangkrik, yang biasanya ia abaikan karena sibuk membaca, kini terdengar begitu nyata dan dekat. Aroma melati dari kebun tetangga, yang tak pernah ia hiraukan sebelumnya, tiba-tiba memenuhi indra penciumannya.

Dunia yang dilihatnya tanpa kacamata adalah dunia yang lebih kaya dan lebih jujur. Garis-garis yang tadinya lurus sempurna kini tampak sedikit berlekuk, namun justru di situlah letak keindahan dan kehidupannya. Ia melihat wajah-wajah orang dengan lebih banyak detail emosional daripada sekadar kontur yang jelas. Kekaburan penglihatan justru membuka matanya pada hal-hal kecil yang selama ini luput dari pengamatan telitinya.

Keesokan paginya, Bara memutuskan untuk tidak langsung memperbaiki kacamatanya. Ia ingin menikmati pandangan baru ini lebih lama. Ia pergi ke toko bunga, sesuatu yang jarang ia lakukan. Dengan penglihatan yang sedikit buram, warna-warna bunga tampak menyatu dalam palet yang indah, bukan lagi sekadar warna-warna terpisah yang bisa ia identifikasi dengan presisi.

Kacamata patahnya bukan lagi sekadar kerusakan, melainkan sebuah simbol. Simbol dari peralihan dalam hidupnya, dari kerapuhan yang membuka pintu menuju kekuatan baru, dan dari ilusi tentang kesempurnaan yang akhirnya pecah, digantikan oleh realitas yang lebih utuh dan bermakna. Bara mungkin akan memperbaiki kacamatanya suatu hari nanti, namun ia tahu, cara ia melihat dunia tidak akan pernah sama lagi. Ia telah belajar bahwa terkadang, untuk benar-benar melihat, kita harus melepaskan pandangan lama kita.

 



________________________________
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kaca Mata", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/agus55303/68518b83c925c44b8e198902/kaca-mata?page=all#goog_rewarded

Admin usudo.id

Tulisan di Blog ini adalah Kumpulan Tulisan saya , baik yang pernah dipublikasikan di Media Online maupun yang saya upload hanya di sini

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama