Bayangan Seribu Candi

Ilustrasi : Bandung dan Jongrang, Imajinasi AI. Dok. Pribadi. 

Di lembah yang tersembunyi di antara puncak-puncak yang memahat langit, di mana kabut purba masih setia memeluk setiap pagi, sebuah legenda abadi terukir dalam sunyi. Ini adalah kisah tentang pesona yang melenakan, tentang kekuatan cinta yang membutakan, dan tentang ego yang menjelma menjadi jurang pemisah. Jauh sebelum waktu dihitung dengan pasti, sebelum nama-nama terucap lantang, takdir telah menganyam benang-benang dua jiwa: seorang putri dengan keelokan rembulan dan seorang ksatria dengan keberanian yang tak tertandingi. Namun, di antara mereka, tersembunyi sebuah kebenaran pahit---bahwa keindahan raga bisa menipu, dan hasrat hati yang paling murni bisa hancur oleh keangkuhan yang tak bertepi.

Di sebuah masa yang jauh, di mana takdir teranyam dalam benang-benang mitos, muncullah seorang putri dengan pesona yang membius setiap pandangan, Rara Jonggrang. Parasnya, serupa rembulan purnama yang memendar syahdu di atas samudra raya, mampu memikat siapa saja yang menatapnya. Namun, di balik kemolekan yang sundhul langit  itu, bersemayamlah sebentuk ego yang tak kalah megahnya, menjulang setinggi istana kerajaan. Ego inilah, sayangnya, acap kali mengalahkan kadar kesetiaan dan cinta yang seharusnya ia miliki, bagai awan gelap yang menutupi sang rembulan, meniadakan cahayanya.

Dan di tengah pusaran takdir yang melingkupi negerinya, di kala rona kecantikan sang putri kian tersohor, datanglah seorang ksatria sakti mandraguna, Bandung Bondowoso, membawa serta cinta yang menggebu-gebu, setajam keris dan sehangat bara api yang membakar sukma. Hatinya telah terpaut sepenuhnya pada sang putri, seolah akar-akar pohon raksasa yang menancap kokoh di kedalaman bumi. Bagi Bandung, esensi cinta adalah menuruti setiap keinginan Jonggrang, detak jantungnya yang paling berharga. Ia tak peduli seberapa musykil permintaan itu, asalkan itu terucap dari bibir sang pujaan hati, bagaikan titah dewata yang tak bisa dibantah oleh fana.

Namun, cinta tak selalu berjalan di jalur yang lurus, kadang ia berkelok, menghadirkan ujian yang tak terduga. Jonggrang, dengan segala pesona dan egonya yang kini membatu, melemparkan sebuah tantangan yang nyaris tak masuk akal, serupa teka-teki dari dewi khayangan yang tak terpecahkan: Bandung harus membangun seribu candi dalam semalam sebagai bukti nyata kesungguhannya. Sebuah ujian yang mustahil bagi nalar manusia biasa. Namun Bandung, yang  weruh sakdurunge winarah dan dikuasai oleh asmara yang membutakan mata hatinya, dengan bodohnya menerima tantangan itu. Ia mafhum akan kesulitannya, bahkan mungkin mustahil terwujud sempurna, namun demi Jonggrang, ia rela mengerahkan segala kesaktiannya, memanggil bala bantuan dari dunia gaib, seolah sanggup memindahkan gunung hanya dengan isyarat tangan.

Malam pun berganti dini hari, diiringi kerja keras para pematung gaib yang dipanggil Bandung, bergerak tanpa henti bagai bayangan tanpa lelah, tak tersentuh waktu. Candi-candi mulai menjulang tinggi, satu per satu, memenuhi dataran luas, menciptakan hutan batu yang agung di bawah rembulan yang beranjak memudar. Mendekati fajar, hanya satu arca lagi yang tersisa, bayangannya masih samar di antara bebatuan yang sudah tegak perkasa. Kekhawatiran melanda Jonggrang, merayap dingin di relung hatinya. Egonya kembali berbisik, tak rela cintanya benar-benar teruji dan berujung pada pernikahan yang enggan ia terima, seolah jerat takdir yang enggan ia rengkuh.

Dalam keputusasaan yang meluap, Jonggrang menggoda semedi Bandung, merusak konsentrasinya bagai riak air yang memecah ketenangan danau yang bening. Ayam jantan pun berkokok kepagian, seolah-olah pagi telah tiba terlalu cepat, membuyarkan tapa semedi Bandung yang nyaris mencapai puncaknya. Sejatinya, Bandung tak perlu larut dalam amarah dan kecewa. Bukankah ia tahu ini adalah muslihat Jonggrang? Hati kecilnya mungkin berbisik tentang tipu daya, namun jiwa ksatria yang haus akan kehormatan memandang ini sebagai kegagalannya yang menyakitkan. Ia tak mampu memenuhi janji yang telah terucap, seolah sumpah yang tak terselesaikan.

Dalam diam yang penuh kekecewaan, seberat batu nisan yang memendam kisah, Bandung pun beranjak pergi. Ia tidak membawa serta seribu candi yang hampir sempurna itu, melainkan hanya satu buah arca, arca ke seribu yang belum rampung sempurna, namun menyimpan seluruh gagasannya yang utuh. Dengan penuh penjiwaan, ia memahat arca itu, meruahkan seluruh cintanya yang tak terbalas, setiap goresan pahatnya adalah helaan napas pilu kekecewaan. Dari tangan sakti itu, terwujudlah sebongkah batu yang bak pinang dibelah dua, bleger ayu lan moleknya sama persis dengan Jonggrang. Arca itu adalah wujud utuh dari cinta dan kekecewaan Bandung, sebuah arca yang berbicara tanpa suara, namun berteriak pilu di kedalaman jiwa.

Tanpa sepatah kata pun, Bandung meninggalkan Jonggrang, membawa serta puing-puing hatinya yang hancur berkeping-keping, bagai istana yang roboh ditelan gempa. Jonggrang hanya bisa terdiam, kekecewaan merayap di rongga dadanya, kini terasa dingin dan hampa. Cintanya yang seharusnya mekar, kandas oleh egonya sendiri, bagai bunga yang layu sebelum berkembang. Ia telah meremehkan ketulusan cinta Bandung, mengukurnya dengan timbangan yang salah, takarannya meleset jauh dari kebenaran hakiki. Dalam penyesalan yang mendalam, ia bersumpah tak akan menikah dengan lelaki lain. Demikian pula dengan si Bandung, yang kini telah pergi membawa seribu bayangan harapan yang sirna dan satu arca yang menyayat hati.

Dari kejauhan, sepasang kijang yang tengah berpacaran berbisik lirih di antara semak belukar, seolah alam turut meratapi kisah yang baru saja usai. "Kuwi lho dik, yen ra ana sing gelem ngalah sithik wae." Sebuah bisikan alam, pengingat betapa rapuhnya sebuah hubungan jika ego menguasai segalanya, jika tak ada sedikit pun kerelaan untuk mengalah demi cinta sejati yang seharusnya menjadi tiang penyangga.

Demikianlah kisah ini bergulir, menyingkap bahwa pesona raga mungkin hanya memukau sesaat, namun keindahan jiwa dan ketulusan cinta adalah permata tak ternilai, abadi dalam ingatan zaman. Sebab, sering kali ego menjelma menjadi jurang pemisah yang dalam, meruntuhkan istana cinta yang hampir berdiri kokoh, hanya menyisakan reruntuhan pilu dan penyesalan yang tak berujung.

____________

Catatan : 


sundhul langit : setinggi langit
weruh sakdurunge winarah : tahu sebelum terjadi
bleger ayu lan moleknya : bentuk ayu dan moleknya
Kuwi lho dik, yen ra ana sing gelem ngalah sithik wae : Itu lho dik, kalau tidak ada yang mau mengalah sedikit saja

 



________________________________
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Bayangan Seribu Candi", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/agus55303/685d4707ed641522a67a0722/bayangan-seribu-candi?page=all#goog_rewarded

Admin usudo.id

Tulisan di Blog ini adalah Kumpulan Tulisan saya , baik yang pernah dipublikasikan di Media Online maupun yang saya upload hanya di sini

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama