![]() |
Ilustrasi : Kita adalah Badut. Dok. Pribadi. |
Cermin di hadapanku memantulkan bayangan yang asing, bukan
wajahku, melainkan siluet seorang badut. Bukan badut panggung dengan riasan
tebal dan kostum cerah, tapi badut tak kasat mata yang kutemukan dalam diriku.
Setiap hari, aku mengenakan topeng tak terlihat ini, terbuat dari senyum yang
dipaksakan dan tawa yang dipelintir. Aku selalu bertanya-tanya, mengapa kita,
manusia biasa, begitu sering menjadi badut dalam kehidupan kita sendiri? Ini
bukan tentang sorotan lampu di panggung megah, melainkan panggung sunyi di
balik mata yang memancarkan kebahagiaan palsu. Ini adalah kisah tentang topeng,
peran, dan kerinduan akan kejujuran yang sering kali harus terkubur
dalam-dalam.
Terkadang, alasan kita memakai topeng ini begitu sederhana,
namun mengakar kuat: keinginan untuk menyenangkan orang lain. Seolah ada
semacam naskah tak tertulis yang harus kita ikuti agar diterima, disukai, tidak
mengecewakan. Aku ingat pernah mengabaikan detak jantungku sendiri yang
berteriak "tidak", hanya demi mengangguk "ya" agar orang
lain tersenyum. Itu bukan senyumku yang sejati, melainkan pantulan dari topeng
yang kubentuk untuk mereka. Bukankah kita semua pernah merasakan bagaimana
rasanya menjadi ilusionis ulung, membuat orang lain percaya bahwa kita
baik-baik saja, padahal di dalam, ada fragmen-fragmen yang berjatuhan?
Lalu, ada panggung besar bernama kehidupan sosial, di mana
semua orang seolah berlomba menampilkan diri paling sempurna. Media sosial
menjadi galeri foto yang menampilkan wajah-wajah tanpa cela, kehidupan tanpa
cacat. Di sana, menjadi "badut" berarti berpura-pura bahagia dan
sukses, meskipun hatiku kadang terasa kosong atau langkahku goyah. Aku
menyembunyikan kelemahan, melukis ilusi kontrol atas segala hal. Kadang, aku
bahkan melontarkan lelucon konyol, bukan karena aku benar-benar ingin bercanda,
tapi karena itu cara termudah untuk mengalihkan perhatian, sebuah trik sulap
agar tak ada yang melihat retakan di balik riasan. Bukankah ironis, kita
berlatih keras demi penampilan yang sempurna, namun sering kali melupakan
esensi dari sebuah kehadiran yang jujur?
Ada pula saat-saat di mana peran badut ini menjadi semacam
pelindung. Mengelola rasa sakit atau ketidaknyamanan emosional. Aku pernah
tertawa paling keras saat hatiku paling remuk. Mengucapkan kata-kata lucu saat
jiwaku meratap. Ini adalah sihir paling gelap dari seorang badut: mengubah luka
menjadi tawa. Aku melakukannya untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang
menggerogoti, agar orang lain tidak perlu khawatir, agar tidak ada pertanyaan
yang perlu kujawab. Tawa itu, walau palsu, seolah menjadi penawar sementara.
Namun, seperti obat bius, efeknya memudar, dan sakit itu kembali, menuntut
untuk diakui. Kita mencari tawa sebagai pelarian, berharap bisa membodohi diri
sendiri, meski hanya untuk sesaat.
Dan terkadang, peran badut ini muncul saat aku menghindari
konfrontasi atau konflik. Ketika suasana memanas, ketika ada perbedaan pendapat
yang mengancam kedamaian semu, aku sering kali memilih jalur humor. Melontarkan
lelucon untuk mencairkan suasana, agar tidak ada diskusi serius yang perlu
kulakukan, agar tidak ada badai yang perlu kuhadapi. Ini adalah pengorbanan
pendapat pribadi demi menjaga "kedamaian" di permukaan, sebuah tarian
akrobatik di atas tali yang tipis, demi menghindari jatuh ke dalam jurang
perdebatan.
Malam semakin larut. Aku memejamkan mata, merasakan berat
topeng yang tak terlihat ini. Ada keinginan kuat untuk melepas topeng badut dan
jujur apa adanya, menunjukkan diriku yang sejati, dengan segala kerapuhan dan
ketidaksempurnaan. Tapi rasanya, setiap kali aku mencoba menariknya, ada tangan
tak terlihat yang menahan, sebuah kekuatan besar bernama "kehidupan"
yang terus memaksa kita menjadi badut-badut abadi. Seolah jujur adalah
kemewahan yang tak selalu bisa kita miliki. Pertanyaan itu menggantung di udara,
menunggu jawabannya di hari esok, atau lusa. Entah kapan.
________________________________
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kita Adalah Badut", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/agus55303/685be501ed641536c9119172/kita-adalah-badut