![]() |
Gantung Sepatu : Dok. Pribadi. |
Dalam setiap jejak langkah, ada kisah yang terukir. Setiap
pasang sepatu yang dikenakan, menyimpan memori perjalanan, perjuangan, dan
puncak-puncak keberhasilan. Namun, bagaimana jika suatu hari, sepatu-sepatu itu
harus digantung? Sebuah isyarat universal tentang akhir sebuah babak, pensiun,
atau berhentinya sebuah peran. Bagi sebagian orang, itu adalah momen kelegaan,
pintu menuju kedamaian. Namun, bagi Pak Dirjo, seorang pengajar yang telah
mendedikasikan hidupnya pada kelas-kelas sekolah, frasa "menggantung
sepatu" adalah sebuah ironi yang menyakitkan.
Ini bukan sekadar akhir dari sebuah karier. Ini adalah
perang batin, pertarungan antara keinginan membara untuk terus berkontribusi
dan realitas pahit bahwa dunia telah bergerak maju, meninggalkan jejaknya
sendiri. Sepasang sepatu pantofel kulit tua yang tergantung di dinding kantor
lamanya bukan lagi simbol penghargaan, melainkan cermin kosong yang memantulkan
krisis eksistensial: bagaimana relevansi diri didefinisikan ketika peran telah
tiada? Artikel ini akan menyelami makna filosofis di balik "gaung sepatu
yang tergantung," sebuah narasi tentang penolakan, perubahan yang tak
terhindarkan, dan pencarian identitas di tengah kesunyian pasca-pensiun yang
tak diinginkan.
Di sanalah ia berdiri, sepasang sepatu pantofel kulit tua,
tergantung di dinding ruang transisi. Bukan di lemari, bukan di rak, melainkan
terpasak pada sebuah gantungan tembaga yang kini berkarat tipis. Mereka bukan
lagi penjelajah lantai marmer, bukan penari di antara meja-meja negosiasi,
melainkan sebuah artefak hening, terlepas dari jejak yang pernah mereka ukir.
Ini adalah sepatu Pak Dirjo, sang pengajar bahasa, kini tersuspensi di ambang
waktu yang tak berujung.
Simbolisme Sepatu: Antara Jejak dan Kekosongan
Setiap kerutan di permukaan kulit itu adalah peta dari
ribuan langkah, setiap goresan tipis adalah saksi bisu dari keputusan-keputusan
krusial, setiap polesan pudar adalah cermin dari hiruk-pikuk bursa yang tak
pernah tidur. Sepatu itu dulunya adalah perpanjangan diri Pak Dirjo, mediator
antara kehendaknya dan dunia nyata. Mereka adalah alat untuk menaklukkan, untuk
menciptakan, untuk menegaskan kehadiran.
Kini, mereka tergantung. Sebuah penangguhan eksistensi.
Mereka tidak lagi bergerak, tidak lagi menjejak. Posisi tergantung ini adalah
metafora paling pahit dari pengakhiran gerak, dari jeda paksa dalam narasi
hidup yang dulunya begitu dinamis. Mereka ada, namun tak berfungsi. Mereka
terlihat, namun tak berinterang. Mereka adalah representasi fisik dari
kekosongan yang menganga setelah tujuan utama dilepaskan.
Filsafat Waktu: Melampaui Genggaman
"Waktunya sudah tiba, Pak Dirjo," bisik angin yang
menyusup lewat celah jendela, membawa serta aroma kertas baru dan mesin-mesin
canggih dari ruang sebelah. Itu bukan suara Kevin, bukan pula dewan direksi,
melainkan suara dari Waktu itu sendiri; entitas tak kasat mata yang
menggerakkan segalanya. Pak Dirjo, yang dulu merasa mampu menaklukkan waktu
dengan prediksi dan strateginya, kini mendapati dirinya tertelan dalam arusnya.
Sepatu yang tergantung itu menjadi pengingat bahwa takdir
dan momentum berada di luar kendali absolut. Mereka adalah simbol dari batas
keberdayaan manusia di hadapan siklus alamiah kelahiran, puncak, dan senja. Ia
ingin sekali melangkah lagi, menyangkal putaran roda itu, tetapi gravitasi
memegang sepatu-sepatu itu erat, mencegahnya menyentuh lantai lagi. Filosofi di
balik ini adalah penerimaan pahit bahwa setiap jejak memiliki batas akhirnya,
dan setiap puncak akan diikuti oleh penurunan.
Keinginan Pak Dirjo untuk tetap berkontribusi bukan hanya
sekadar keterikatan emosional, melainkan sebuah pertanyaan metafisika tentang
relevansi diri. Jika identitas kita begitu terikat pada apa yang kita lakukan,
pada peran yang kita mainkan, apa yang tersisa ketika peran itu dicabut? Sepatu
yang tergantung ini adalah cermin kosong yang memantulkan krisis ini. Mereka
adalah bekas yang ditinggalkan, tetapi bekas itu kini tak lagi memancarkan
esensi yang hidup.
Dunia telah bergerak maju, melangkah dengan sepatu-sepatu
yang lebih ringan, lebih cepat, lebih "disruptif." Sepatu Pak Dirjo
adalah monumen bagi masa lalu yang agung, namun di hadapan modernitas yang
kejam, keagungan itu tampak seperti anomali, sebuah relik. Ini adalah renungan
tentang ketidakabadian jejak manusia di tengah laju perubahan yang tak
terhindarkan. Penghargaan yang dahulu melimpah, kini hanya terangkum dalam
sebentuk pajangan statis, sebuah formalitas sunyi yang menandai berlalunya
zaman.
Meditasi Sunyi: Antara Ada dan Tiada
Maka, sepatu-sepatu itu tergantung. Bukan sebagai simbol
akhir yang menyedihkan, melainkan sebagai titik meditasi sunyi. Mereka
mengajukan pertanyaan: Apa arti berhenti jika keinginan untuk melangkah masih
membara? Apa makna relevansi jika dunia tidak lagi membutuhkan? Apa nilai
sebuah jejak jika ia tak lagi diinjak?
Pak Dirjo, saat menatap sepatu-sepatunya yang tergantung,
tidak hanya melihat sebuah akhir. Ia melihat sebuah permulaan yang ambigu.
Sebuah permulaaan di mana ia harus mendefinisikan kembali arti langkah, tanpa
jejak yang sudah terbiasa. Sebuah permulaan di mana filosofi hidup harus
dibentuk ulang, dari seorang Arsitek Angka menjadi seorang penjelajah tanpa
peta, tanpa sepatu, di sebuah bentangan waktu yang tak terpetakan. Dan dalam
kesunyian sepatu yang tergantung itu, gema pertanyaan itu terus bergaung: Apakah
aku masih ada, jika jejakku telah sirna?
Lantas, apakah "menggantung sepatu" berarti
mengakhiri segalanya? Apakah gaung sepatu yang tergantung hanya akan menyisakan
kesunyian dan penyesalan? Barangkali, di balik kepedihan menerima kenyataan,
tersembunyi sebuah pintu lain. Pintu menuju kebebasan sejati, di mana
pengalaman bertahun-tahun menjelma kebijaksanaan, dan hasrat untuk berkarya
menemukan wadah baru di luar tembok-tembok formal. Mungkin, pensiun bukanlah
akhir dari sebuah jejak, melainkan awal dari petualangan baru, di mana sepatu-sepatu
lama diganti dengan langkah-langkah ringan menuju kontribusi di tengah
masyarakat, menemukan makna baru dalam setiap tapak kehidupan.
________________________________
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Gaung Sepatu yang Tergantung", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/agus55303/68524a5d34777c047c6c84a2/gaung-sepatu-yang-tergantung?page=all#goog_rewarded