![]() |
Ilustrasi Jembatan Kali Siwauh : Olahan AI. |
Lampu-lampu jalanan masih saja berpendar, membiaskan cahaya kuning samar di atas aspal yang mulai menghitam oleh embun malam. Jarum jam di ponselku sudah menunjukkan angka sebelas lebih, tapi kerlipnya tak kunjung redup, seolah enggan mengalah pada kesunyian yang perlahan merayap. Lalu-lalang kendaraan sudah lama menipis, hanya menyisakan deru pelan truk sesekali atau suara motor yang mendesing jauh. Tapi di balik jendela kamarku, dalam remang cahaya buatan ini, entah mengapa kenangan itu justru terasa semakin jelas. Terkubur, ya, tapi tak pernah benar-benar mati.
Aku memejamkan mata, dan yang pertama kali muncul adalah
suara. Bukan suara mesin atau bising kota, melainkan gemericik Siwaluh. Sungai
itu, yang membelah kotaku, berada hanya selemparan sandal di barat rumahku,
selalu punya caranya sendiri untuk memanggil. Dulu, suaranya adalah soundtrack
setiap langkah pulang sekolah. Dan, tak bisa dipungkiri, juga soundtrack dari
setiap tatapan curi-curi ke arahmu, Adam.
Seragam putih abu-abu itu terasa begitu asing sekarang,
terkunci rapat di dalam lemari memori. Tapi aku ingat betul setiap jengkal
jalanan itu, yang selalu kami susuri bersama, entah disengaja atau tidak. Dari
gerbang sekolah, menyusuri pinggiran sawah yang hijau di musim tanam, hingga
bertemu dengan jembatan di atas Siwaluh.
![]() |
Inisial "K" Dok.Pribadi |
Kita tidak pernah bergandengan. Tidak pernah sekalipun. Bahkan, seringnya, kita berjalan dengan jarak beberapa langkah. Kamu di depan, aku di belakang. Atau terkadang, kamu di seberang jalan, dan aku di sini. Kata-kata? Hampir tak pernah terucap. Mungkin hanya sapaan standar saat berpapasan di koridor sekolah. Selebihnya, hanya diam membisu. Tapi dalam diam itu, entah bagaimana, ada begitu banyak yang terasa terucap. Tatapan singkat saat berpura-pura melihat ke arah lain. Senyum kecil yang tertahan. Perasaan kikuk yang justru terasa indah.
Apakah cinta remaja itu, yang sering kusebut hanya sebagai
"rasa suka" karena terlalu malu menyebutnya cinta, masih tersimpan di
dadaku? Di dada perempuan yang kini sudah menjejak usia kepala tiga ini?
Ah, tentu saja tidak.
Aku mendesah pelan, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Bukankah waktu telah menggerus semua cerita? Setiap detail, setiap bisikan hati
yang tak pernah terlontar, setiap bayangan masa depan yang hanya berani
kuhayalkan sendiri. Kisah itu, yang sebenarnya tak pernah usai karena tak
pernah benar-benar dimulai, sudah seharusnya terkubur dalam-dalam.
Lamunanku terinterupsi oleh suara notifikasi di ponsel. Sebuah pesan dari adikku, Rina. "Kak, besok pagi ikut bersih-bersih Siwaluh, yuk? Ada kerja bakti kampung." Aku mengerutkan kening. Sudah lama sekali aku tidak benar-benar turun ke sungai itu, hanya sesekali melewatinya dengan mobil.
Keesokan paginya, di bawah terik matahari yang mulai
menghangatkan, aku bersama warga lain bergotong royong membersihkan pinggir
Siwaluh. Airnya terlihat lebih jernih setelah sampah-sampah diangkat. Saat
sedang menarik sebatang dahan pohon yang tersangkut, tanganku menyentuh sesuatu
yang keras, terkubur di dasar lumpur dangkal. Benda itu kecil, terbungkus rapat
plastik lusuh yang sudah kusam oleh waktu. Rasa penasaran membimbingku untuk
mengambilnya.
Setelah dibersihkan, terkuaklah wujud aslinya: sebuah kotak
timah kecil, sudah berkarat di sana-sini, tapi masih tertutup rapat. Aku
membukanya perlahan. Di dalamnya, terlipat rapi, ada secarik kertas yang sudah
menguning dan sedikit basah, tapi tulisannya masih terbaca.
Itu adalah selembar puisi. Tulisan tangan yang kukenal.
Tulisan Adam.
Untuk dia yang selalu berjalan di tepian,
di antara gemericik Siwaluh
dan senyum yang tak pernah sampai.
Aku ingin berkata...
Puisi itu terhenti di situ. Kalimat selanjutnya tidak ada.
Seperti terputus. Namun, di baliknya, ada sebuah ukiran kecil di dasar kotak
timah itu. Sebuah Inisialku dan Adam. Dan di bawahnya, tanggal: 15 Mei 2005.
Tepat sehari sebelum kelulusan SMA.
Jantungku berdebar kencang. Kotak ini, puisi ini, telah
tersimpan di dasar Siwaluh selama belasan tahun. Adam pasti menyimpannya di
sana. Untukku? Atau hanya sebagai curahan hatinya yang tak tersampaikan, yang
kemudian hilang? Gemericik Siwaluh tiba-tiba terasa berbeda. Bukan lagi sekadar
suara kenangan, tapi seperti bisikan, mengungkapkan rahasia yang terpendam.
Bahwa, mungkin, aku tidak pernah sendiri dalam diam itu.
Aku memandang sungai yang mengalir tenang. Siwaluh masih
setia, ya. Ia tidak hanya mengalirkan kisah-kisah lainnya, dari masa yang satu
ke masa di depannya, tetapi juga menyimpan rahasia-rahasia dari masa lalu. Dan
hari ini, Siwaluh telah membisikkan sebuah cerita yang selama ini terkubur
lebih dalam dari yang kukira. Sebuah cerita tentang cinta yang tak terucap,
bukan hanya dari satu sisi, melainkan mungkin, dari kami berdua.
Sebuah senyum tipis, campur aduk antara keharuan dan
penerimaan, tersungging di bibirku. Ini adalah penemuan yang indah, sebuah
konfirmasi atas apa yang dulu hanya menjadi dugaan dan harapan masa remaja.
Rasanya seperti sebuah potongan puzzle yang akhirnya kutemukan setelah
bertahun-tahun.
Tetapi, pikiran itu segera datang: keadaan tentu saja
sekarang berbeda. Aku telah menjalani hidupku sendiri. Mungkin Adam juga. Kami
memiliki jalan masing-masing, cerita yang berbeda, dan babak baru yang sudah
dimulai jauh dari tepi Siwaluh. Penemuan ini bukan tentang membangkitkan
kembali apa yang sudah berlalu, melainkan tentang memahami, tentang melengkapi
sebuah kisah yang tak tuntas. Kenangan itu akan tetap menjadi bagian dari
diriku, seperti gemericik Siwaluh yang tak pernah benar-benar lenyap dari ingatan.
Hanya saja, kini aku memandangnya dengan pemahaman yang lebih utuh, dan dengan
kesadaran bahwa sungai kehidupan telah membawa kami ke alur yang berbeda.
****
siwaluh adalah nama sebuah sungai yang membelah kota
Karanganyar dari punggung Lawu menuju Bengawan Solo
View Map : https://s.id/GYisb
________________________________
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kisah di Tepi Kali Siwaluh", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/agus55303/6855771a34777c3e7d14d8b4/kisah-di-tepi-kali-siwaluh?page=all#section2