Kereta Terakhir dan Harapan Usang

Dok. Pribadi. 

Angin malam di Kota Jember berembus pelan, menyusup lewat celah jendela ruang tunggu stasiun. Aroma kretek dari warung seberang samar tercium, bercampur bau kopi yang mengepul. Aku duduk di bangku kayu yang dingin, menunggu panggilan kereta menuju Banyuwangi. Pandanganku menyapu sekeliling, dan di sudut bangku, dekat tumpukan koran bekas, mataku menangkap sebuah buku bersampul lusuh. Bukan novel, bukan majalah, tapi sebuah buku harian. Terbuka di halaman tengah, seolah sengaja ditinggalkan untuk dibaca. Rasa penasaran membuncah. Perlahan, aku raih buku itu, dan mulai menyelami barisan tulisan tangan yang rapi namun bergetar.

[22 Juni 2025]

Malam di Jember selalu membawa hawa yang sama: hangat, kadang gerah, dan selalu diselimuti aroma tembakau yang samar dari kejauhan. Tapi malam ini, suhu di hatiku terasa jauh lebih panas dari biasanya. Ini malam kesekian aku tak bisa tidur pulas, gelisah menanti pengumuman PPPK Tahap 2. Di layar ponsel, grup WhatsApp honorer ramai, notifikasi tak putus-putus berloncatan. Kebanyakan adalah keluh kesah, mirip dengan yang kurasakan.

"Giliran Teknis sudah keluar, Bu. Katanya, meski nilai tinggi, nggak ada kode 'L'," sebuah pesan masuk dari Bu Siti, rekan sejawat yang juga guru honorer. Jariku menari di layar, ingin membalas, tapi kata-kata terasa tercekat di tenggorokanku. Jadi, benar. Mimpi buruk yang selama ini kami takutkan. Formasi yang katanya terbuka di tahap dua, entah bagaimana, sudah "habis" di tahap satu. Seperti toko yang memajang barang diskon, tapi begitu kita masuk, semua sudah ludes. Lalu, untuk apa semua penantian ini? Untuk apa kami bersusah payah mempersiapkan diri, menguras tenaga dan pikiran?

Aku memandang tumpukan buku di meja samping tempat tidur. Buku-buku persiapan ujian, modul-modul pedagogik, lembar-lembar sertifikasi pendidik yang sudah berdebu. Bertahun-tahun aku mengajar, mendidik anak-anak di pelosok Jember ini. Memastikan mereka bisa membaca, menulis, memahami dunia. Bahkan, ketika gaji tak seberapa, semangat itu tak pernah padam. Aku percaya, suatu hari nanti, pengabdian ini akan berbuah manis.

Namun, kenyataan pahit yang dialami rekan-rekan honorer teknis itu terasa seperti tamparan. Aku tahu, bahkan dengan sertifikasi di tangan dan nilai uji kompetensi yang insya Allah tinggi, kami, para guru honorer, tetap punya "musuh" tak kasat mata: status di database BKN. Ini bukan hanya soal seleksi PPPK, tapi juga realitas sehari-hari di sekolah. Kami tak pernah dipandang sebagai prioritas. Jam mengajar, yang sangat krusial bagi kami, seringkali harus rela diberikan kepada guru-guru berstatus ASN atau PPPK yang baru datang. Padahal, kami sudah lebih dulu mengabdi, lebih dulu mengenal karakter siswa dan lingkungan sekolah. Seolah, kompetensi di kelas, inovasi dalam mengajar, atau senyum tulus anak-anak didik, tak lebih berarti dari sederet angka dan kode dalam sistem komputer. Ini bukan soal cengeng, ini soal akal sehat dan keadilan.

Pikiran tentang usia juga tak henti menghantui. Rambut mulai memutih, kerutan di wajah semakin terlihat jelas. Kami bukan lagi anak-anak muda yang baru lulus kuliah dengan semangat membara tanpa beban. Kami punya keluarga, tanggungan, dan impian sederhana untuk hidup layak di masa senja. Jika seleksi berikutnya membutuhkan waktu lagi, atau jika ada batasan usia yang tak terucap namun nyata, bagaimana nasib kami? Apakah pengabdian yang telah kami berikan puluhan tahun akan berakhir begitu saja, tanpa ada kepastian? Kami hanya ingin mengabdi dengan tenang, dengan jaminan yang layak di hari tua. Bukan hidup dalam ketidakpastian yang seolah tak berujung ini.

Suara jangkrik di luar terdengar nyaring, seolah ikut meratapi. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Besok pagi, aku harus tetap mengajar. Anak-anak didik tak boleh melihat kegelisahan di mataku. Mereka berhak mendapatkan yang terbaik, tak peduli apa pun yang terjadi dengan nasib gurunya. Namun, jauh di sudut hati, sebuah bisikan lirih muncul: sampai kapan kami harus terus begini? Sampai kapan kami harus menanggung luka yang tak terlihat ini? Jember, kota tembakau yang selalu kuhirup udaranya, menjadi saksi bisu setiap tetes peluh dan setiap air mata harapan yang tumpah. Kami hanya bisa terus berharap, berharap keajaiban itu datang, membawa keadilan bagi pengabdian yang tak pernah mengenal lelah ini, sebelum semua harapan itu benar-benar padam ditelan waktu.

Aku menutup buku harian itu perlahan. Tanganku memegang sampulnya yang usang, merasakan jejak-jejak kehidupan yang tumpah di dalamnya. Buku ini bukan hanya deretan kata, melainkan cerminan hati yang gundah, sebuah suara dari ribuan guru honorer yang mungkin tak pernah didengar. Panggilan kereta ke Banyuwangi terdengar lantang, memecah kesunyian malam. Aku berdiri, membawa serta secuil kisah pilu yang tak sengaja kutemukan di ruang tunggu Stasiun Jember ini. Sebuah pengingat, bahwa di balik hiruk-pikuk perjalanan, ada perjuangan sunyi yang tak henti-hentinya bergema.

 



________________________________
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kereta Terakhir dan Harapan Usang", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/agus55303/68598052ed6415540231b792/kereta-terakhir-dan-harapan-usang

Admin usudo.id

Tulisan di Blog ini adalah Kumpulan Tulisan saya , baik yang pernah dipublikasikan di Media Online maupun yang saya upload hanya di sini

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama