![]() |
Ilustrasi : Mata Rantai. |
Ruang rapat koperasi terasa
pengap, bahkan sebelum semua anggota tiba, udara berdesir dengan bisikan janji
dan ambisi yang tak terucap. Sebuah permainan kekuasaan akan segera dimulai,
dan di sudut sana, Bu Clara, manajer departemen yang dikenal licin, mengamati
kerumunan dengan senyum tipis. Di benaknya, alur cerita sudah tertata rapi:
bagaimana calonnya, Pak Herman, akan naik ke kursi ketua, membawa serta angin
segar "pembaharuan" yang sebenarnya adalah pintu masuk bagi
ambisi-ambisi tersembunyi. Bu Clara telah menginvestasikan waktu, tenaga, dan
sedikit manuver di balik layar untuk memastikan skenario ini berjalan sempurna.
Sebenarnya, ada bibit-bibit ketidaksukaan yang telah lama ia simpan terhadap
Ibu Sonia. Masukan-masukan Ibu Sonia, meski seringkali jauh ke depan dan
terbukti benar, justru menimbulkan rasa tersaingi dalam diri Bu Clara. Mungkin
itu yang menjadi pendorong utama di balik rencananya kali ini.
Tim kecil yang ia kumpulkan
untuk mewujudkan misi ini tampak kokoh di permukaan. Ada Ibu Tania, yang
mendambakan posisi bendahara dan tak henti-hentinya melobi setiap kali ada
kesempatan. Ada Pak Burhan, pemilik pemasok utama bahan baku, yang bermimpi mendapatkan
kontrak eksklusif yang lebih menguntungkan. Dan ada beberapa nama lain,
masing-masing dengan ganjaran yang telah mereka bayangkan sendiri. Bu Clara
melihat mereka sebagai kepingan-kepingan catur yang bisa ia gerakkan sesuka
hati. Mereka adalah mata rantai yang akan mengikat ambisinya pada kenyataan.
Sejak beberapa minggu
sebelumnya, mereka telah bergerak. Bisik-bisik disebarkan mengenai kinerja
ketua koperasi yang lama, diperkuat dengan sentuhan bumbu ketidaktransparanan
yang fiktif. Selebaran-selebaran kecil, tanpa nama pengirim, muncul di mading, menyanjung
visi Pak Herman yang "inovatif" dan "berani". Bu Clara
merasa yakin, ia telah membangun fondasi yang tak tergoyahkan. Setiap upaya itu
adalah sebuah rantai yang kokoh, menghubungkan niatnya dengan hasil yang
diinginkan.
Namun, ada satu variabel yang
diabaikan. Ibu Sonia. Sosoknya sering terlihat di antara tumpukan arsip lama di
kantor koperasi, atau mendengarkan keluhan anggota di kantin, bukan di
forum-forum besar. Ia bukan politikus andal, tak punya tim lobi, dan tak pernah
menjanjikan apa-apa kecuali perbaikan sistem. Ia adalah seorang perempuan
cerdas, yang pemahamannya tentang seluk-beluk koperasi seringkali melampaui
kebanyakan orang di sana, namun ia sering terabaikan, bahkan disingkirkan dari
diskusi-diskusi penting karena dianggap "terlalu detail" atau
"tidak sejalan". Bu Clara dan timnya hanya menganggap Ibu Sonia
sebagai kerikil kecil, gangguan sesaat yang akan tergilas oleh mesin raksasa
yang telah mereka bangun. Ia adalah mata rantai yang terlalu lemah untuk
dihitung.
Hari pemilihan tiba, di
sebuah aula yang dipenuhi aura ketegangan. Bu Clara duduk di barisan depan,
matanya tajam mengawasi setiap gerak-gerik. Pak Herman, calonnya, sesekali
meliriknya, mencari anggukan persetujuan. Segala sesuatu tampak terkendali. Ibu
Tania sesekali tersenyum penuh arti pada beberapa anggota yang baru masuk,
sementara Pak Burhan sibuk berbisik di pojok.
Namun, di tengah jalannya
proses, sesuatu mulai terasa ganjil. Suara-suara yang mereka perkirakan akan
masuk ke kantung Pak Herman, tiba-tiba terdengar mengarah ke nama lain.
Bisik-bisik di antara tim konspirator mulai berubah menjadi nada panik. Ibu Tania
sesekali melirik arlojinya, seolah jadwalnya terganggu. Pak Burhan, yang
biasanya percaya diri, tampak gelisah, sesekali menyentuh dasinya. Tampaknya
ada rantai internal yang mulai bergeser.
Puncaknya terjadi saat
penghitungan suara dimulai. Angka-angka untuk Pak Herman stagnan, sementara
untuk Ibu Sonia, grafik mulai menanjak tajam, tak terduga. Bu Clara merasakan
jantungnya berdebar kencang, bukan karena kemenangan, melainkan karena kengerian.
Bagaimana mungkin? Ia menatap timnya, mencari jawaban.
Ketika nama Ibu Sonia
diumumkan sebagai ketua baru, aula riuh rendah, bukan oleh sorak-sorai yang
direncanakan, melainkan oleh tepuk tangan tulus dan lega. Bu Clara menatap
kosong. Ia akhirnya menyadari. Tim yang ia kumpulkan, yang ia anggap solid,
ternyata jauh dari itu. Ibu Tania, dengan ambisinya yang tak sabaran, sempat
membocorkan beberapa detail strategi kepada kenalan lamanya, yang kemudian
menjadi informasi bagi kubu Ibu Sonia. Pak Burhan, karena terlalu bersemangat
menjanjikan proyek besar, justru menimbulkan kecurigaan di kalangan anggota
senior yang konservatif. Mereka, dengan kepentingan pribadinya yang tak
terkendali, telah menjadi mata rantai yang berkarat, yang justru merapuhkan
seluruh bangunan konspirasi itu sendiri. Mereka adalah mata rantai kegagalan.
Bu Clara bangkit dari
kursinya yang terasa terbalik. Rencananya hancur, bukan karena musuh yang kuat,
tetapi karena alat-alat yang ia pilih sendiri, yang terlalu fokus pada diri
mereka sendiri, bukan pada misinya, apalagi pada esensi koperasi. Ia melihat
Ibu Sonia berdiri di podium, sederhana namun berwibawa, menyuarakan komitmennya
pada prinsip-prinsip koperasi yang sesungguhnya. Dan Bu Clara tahu, ambisinya
telah terkubur, di bawah reruntuhan konspirasi yang ia bangun dengan
rantai-rantai kepentingan pribadi yang rapuh.
Namun, saat Bu Clara berjalan
keluar dari aula yang kini dipenuhi senyum lega dan tawa gembira, seulas
seringai tipis kembali muncul di bibirnya. Kekalahan ini memang tak terduga,
sebuah pukulan telak. Tapi ia telah belajar banyak. Kekalahan hari ini adalah
data berharga, penanda kelemahan yang ia butuhkan untuk menyusun strategi
berikutnya. Jauh di dalam benaknya, di balik setiap kemarahan yang ia pendam
dan rasa tersaingi yang teramat sangat, sebuah rencana baru sudah mulai
dirajut, lebih rumit dan tak terduga, sebuah jaring yang akan dilemparkannya
saat waktu yang tepat tiba. Kali ini, ia takkan mengulang kesalahan yang sama.
Apa sebenarnya rencana Bu
Clara selanjutnya? Itu, hanya waktu yang akan menjawab.
________________________________
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mata Rantai", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/agus55303/6857e2a3ed641549b4190192/mata-rantai?page=all#section1