Ketika Kurusetra Berbisik dari Lorong-Lorong Kantor

Kurusetra di Lorong Kantor : Dibuat dari Imajinasi AI


Senja merambat pelan di teras rumahku, menebar jingga keemasan yang menenangkan. Namun, pikiranku tak setenang langit. Angin sore yang sepoi-sepoi bukannya membawa damai, malah serupa bisikan-bisikan yang sering kudengar di kantor; gema intrik dan arogansi yang seolah tak pernah usai. Mereka bukan lagi tokoh-tokoh pewayangan yang terukir indah di atas kulit, melainkan sosok-sosok nyata yang kutemui setiap hari: rekan kerja, atasan, bahkan mungkin bawahan, dengan jiwa yang dipenuhi ambisi tak bertepi, licik tanpa batas, dan opportunisme yang memuakkan. Ada pula yang berkuasa, namun pergulatan batinnya termanifestasi dalam paksaan. Aku bertanya pada diri, bagaimana caranya bernapas di tengah medan perang tak kasat mata ini? Bagaimana menjadi manusia yang utuh, tanpa tercemar oleh racun yang bertebaran di tempat kerjaku?

Aku duduk di kursi sofa tua di teras rumah, secangkir kopi hangat mengepul di sisiku, namun pikiranku melayang jauh ke meja kerjaku. Kulihat wajah-wajah yang memancarkan kilau Sengkuni, matanya tajam menghitung laba dari setiap kelemahan kolega. Lidahnya cekatan merangkai kata, melilit kebenaran hingga menyerupai benang kusut yang tak mungkin terurai. Senyumnya tipis, menyimpan seribu muslihat di balik email atau celotehan di ruang rapat.

Tak jauh dari situ, langkah-langkah berat membelah lorong kantor, memancarkan aura Duryudana. Dada membusung, tatapan menuntut kepatuhan mutlak, seolah seluruh proyek dan departemen adalah miliknya yang mutlak. Ambisinya adalah api yang membakar segala batas etika dan profesionalisme, menghanguskan empati, meniadakan nurani demi posisi puncak. Ia tak peduli siapa yang tergilas dalam persaingan, asalkan kekuasaan tetap bersemayam di tangannya.

Dan yang paling menyakitkan, seringkali kudapati sosok-sosok yang serupa Salya, baik pria maupun wanita. Mereka bukan biang intrik, bukan pula dalang kejahatan. Namun, di pusaran konflik kepentingan, mereka lihai memosisikan diri. Mata mereka sigap mencari peluang, tangan mereka cekatan meraih keuntungan dari kekisruhan yang terjadi—dengan rapor positif palsu, dengan pujian berlebihan pada atasan, atau dengan berbisik di telinga pihak yang sedang berkuasa. Mereka tahu mana kebijakan yang benar, namun kilau bonus, janji jabatan, dan kemilau status lebih memikat. Integritas seolah komoditas yang bisa ditukar dengan kemudahan dan kemajuan karier instan.

Lalu, ada pula sosok yang tak kalah meresahkan, seperti Drupadi di titik nadir kesabarannya. Ia berkuasa, memiliki pengaruh yang tak terbantahkan, namun seringkali kudapati keraguan menyelimuti sorot matanya yang tajam. Keraguan tentang arah, tentang langkah yang harus diambil. Namun, di balik keraguan itu, tersimpan kekuatan untuk memaksakan kehendak, mungkin karena ia tahu posisinya tak tergoyahkan. Keputusannya, meski kadang terasa impulsif, bisa mengguncang seluruh tatanan, menciptakan gelombang baru di kantor, baik disadari atau tidak.

Hatiku sering bergemuruh, ingin memberontak. Ingin berteriak pada Sengkuni yang manipulatif, menampar Duryudana yang arogan, menantang Salya yang oportunis, atau memprotes keputusan Drupadi yang terasa memaksa. Namun, suara itu tertahan di kerongkongan, sebab aku tahu, pertarungan di kantor ini bukan sekadar fisik. Ini adalah perang batin, sebuah Kurusetra pribadi yang tak berdarah namun menguras jiwa dan semangat.

Mustahil rasanya menjelma Arjuna dengan ketenangannya yang sempurna, menarik busur tanpa getar di tengah tekanan deadline dan intrik rekan kerja. Sulit pula menjadi Bima yang berani menerjang badai kebijakan tak adil tanpa ragu, atau Yudistira yang teguh memegang dharma di tengah godaan promosi instan. Apalagi Kresna, dengan kecerdasan strategisnya yang mampu melihat seribu langkah ke depan, merajut takdir proyek dari benang-benang yang tak terlihat. Kami hanyalah manusia biasa di bilik-bilik kantor, dengan segala kerapuhan dan keterbatasan.

Namun, di teras rumahku ini, sebuah bisikan lembut menyentuh jiwaku. Bukanlah tentang menjadi mereka sepenuhnya, melainkan memetik esensi dari setiap kearifan yang mereka simbolkan.

Ketika intrik Sengkuni merayapi udara kantor, aku belajar menarik diri sejenak. Meniru Arjuna, fokus pada pekerjaanku sendiri, pada keahlian yang sedang kuasah, pada hati yang harus kujaga dari racun provokasi atau gosip tak berdasar. Ketenangan batin menjadi perisai, memantulkan panah-panah berbisa itu kembali kepada pengirimnya, tanpa harus terlibat.

Saat arogansi Duryudana mengimpit, dan ketidakadilan terasa menampar wajah dalam keputusan-keputusan manajemen, kucari nyali Bima dalam diriku. Bukan untuk membalas dengan amarah yang sama, melainkan untuk bersuara lantang membela kebenaran, untuk berdiri tegak meski kaki gemetar dalam rapat yang menegangkan. Keberanian yang dilandasi nurani, yang tak gentar menghadapi ancaman pemecatan, namun tetap menjaga profesionalisme.

Di setiap persimpangan proyek, kala tawaran menggiurkan berkelebat dari tangan-tangan Salya yang lihai mencari muka, aku mencoba menimbang dengan cermat. Menggenggam erat prinsip Yudistira, bahwa integritas adalah permata yang lebih berharga dari bonus dan jabatan. Biarlah mereka berenang di kolam lumpur keuntungan sesaat, aku akan tetap menapak di jalan kejujuran, sekecil apa pun dampaknya.

Dan dalam setiap masalah kantor yang terasa mengikat, yang dililit benang kusut tipuan Sengkuni, ambisi Duryudana, opportunisme Salya, atau keputusan Drupadi yang memaksa, aku memanggil bayangan Kresna. Bukan dengan pedang, melainkan dengan pikiran. Menganalisis motif di balik setiap keputusan, memprediksi gerakan kompetitor. Lalu, merangkai strategi yang cerdik. Bagaimana cara membalikkan keadaan tanpa harus tenggelam dalam drama yang sama? Bagaimana menetralkan racun tanpa harus ikut menelannya, sambil tetap menjaga kinerja?

Matahari perlahan tenggelam di cakrawala, melukis jingga yang memudar. Aku bangkit dari kursi rotan, bukan sebagai pahlawan dari epos kuno, melainkan sebagai seorang pekerja yang siap kembali ke "Kurusetra" esok hari. Konflik di kantor tak akan berakhir, sebab ia ada di setiap interaksi, di setiap kebijakan, di setiap sudut kubikel. Namun, aku telah menemukan cermin di dalamnya. Cermin yang memantulkan kebijaksanaan para kesatria, mengingatkanku bahwa dalam setiap diri, bersemayam potensi untuk menjadi lebih dari sekadar bayangan. Potensi untuk menari di tengah badai politik kantor, memetik kearifan dari setiap tekanan, dan pada akhirnya, menemukan kedamaian sejati di tengah riuhnya peperangan profesional. Bisikan angin senja kini tak lagi terasa asing, melainkan membimbing, memberiku kekuatan untuk terus berjalan.


Gemuruh Kurusetra di Relung Hati

Di setiap meja kerja, di balik setiap layar gawai, tersimpan miniatur medan Kurusetra. Ia bukan lagi padang luas berselimut debu pertempuran, melainkan bentangan hari-hari yang diwarnai intrik Sengkuni, ambisi Duryudana, opportunisme Salya, dan keputusan tajam dari mereka yang berkuasa namun diliputi keraguan seperti Drupadi.

Kita, para penjelajah modern, tak mungkin menjelma kesatria paripurna yang menggenggam segala keutamaan. Namun, di sanalah letak kebijaksanaan sejati: kita tak perlu menjadi mereka seutuhnya, cukup memetik esensi setiap kearifan.

Ketika bisikan licik menyayat telinga, jadilah setenang Arjuna, fokus pada kemahiran diri, biarkan ketenanganmu menjadi perisai yang memantulkan segala provokasi.

Manakala ketidakadilan mengimpit dan kejujuran terabaikan, temukan keberanian Bima dalam jiwamu, tegakkan kebenaran dengan lantang, sebab suara nurani takkan pernah kalah oleh auman keserakahan.

Di setiap persimpangan, saat godaan keuntungan mengaburkan mata, peganglah teguh integritas Yudistira, karena kehormatan adalah mahkota abadi, lebih berharga dari takhta yang fana.

Dan di tengah labirin masalah yang rumit, yang dililit benang-benang kepentingan, gunakanlah kecerdasan Kresna, lihatlah jauh ke depan, sebab strategi yang bijak akan menuntunmu melewati badai, tanpa harus ikut tenggelam dalam lumpur.

Sesungguhnya, Kurusetra terbesar ada dalam diri kita sendiri. Ia adalah medan pergulatan antara sisi terang dan gelap. Maka, pilihlah untuk menari di tengah badai, memetik kearifan dari setiap tekanan, dan biarkan setiap tantangan mengukir kebijaksanaan baru dalam perjalananmu. Karena pada akhirnya, kedamaian sejati bukanlah ketiadaan perang, melainkan kemampuan untuk bertahan dan bertumbuh di tengah gemuruhnya.

 

Admin usudo.id

Tulisan di Blog ini adalah Kumpulan Tulisan saya , baik yang pernah dipublikasikan di Media Online maupun yang saya upload hanya di sini

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama