Gupuh

Gupuh #Trending1. 


Di jantung Kerajaan Amarta, tersembunyi sebuah tempat yang dijaga ketat oleh tradisi dan kesunyian: Keputren. Sebuah sangkar emas bagi para putri, selir, dan dayang, di mana setiap napas adalah irama, setiap langkah adalah tarian, dan setiap suara adalah bisikan. Di sanalah, keanggunan dipuja, kesahajaan dihormati, dan setiap gerak-gerik diatur oleh pakem tak tertulis yang telah mengakar berabad-abad lamanya. Para punggawa dan pembesar Keputren adalah penjaga gerbang moral dan etika, memastikan tak ada secuil pun noda mencemari nama baik istana. Namun, siapa sangka, di balik dinding-dinding kokoh itu, sebuah badai tak terlihat sedang merayap, bukan dari intrik politik istana, melainkan dari gemuruh jagat maya yang tak mengenal batas.

Berawal dari sebuah postingan iseng Limbuk, salah satu dayang paling hits di Keputren, yang Limbuk, dengan ponsel pintarnya, tak henti-hentinya memotret. Dari dekorasi yang memukau, sajian kuliner yang menggugah selera, hingga senyum para putri yang anggun. Semua diunggahnya dengan antusias, lengkap dengan caption jenaka dan hashtag wajib: #AmartaFair2025. Saking asyiknya memotret dan mengunggah, Limbuk tak menyadari satu foto yang terlewat dari sortirannya. Sebuah foto... dirinya sendiri, hanya berbalut kemben, dengan pose yang sebetulnya ia maksudkan sebagai lelucon di antara rekan-rekan abdi dalem.

Tetapi bencana sesungguhnya dimulai saat Mbilung, si abdi dalem yang punya hobi ngebanyol dan akun medsos anonim, mengutip postingan Limbuk dengan sentilan sarkasme yang bikin ngakak guling-guling. "Wahai Pangeran Impian, segera datanglah! Jangan sampai bidadari Keputren ini lumutan nunggu jodoh. Konon, Putri Duyung pun kalah pamor sekarang," tulis Mbilung. "Lha, wong kerjaan punggawa cuma rapat sana-sini bahas tata krama, tapi lupa kalau dayangnya butuh masa depan. Mungkin mereka mikir, jodoh itu cuma urusan 'ndalem', bukan urusan publik yang bisa di-tagar. #SaveLimbuk #KeputrenGeger #PunggawaLupaDiri." Disertai emotikon tertawa sampai menangis dan tagar yang menusuk. Ditambah lagi pada saat Pentas Budaya 2025, Mbilung dengan gagah berani membaca puisi sarat sarkas, mengkritik para punggawa.

Siapa sangka, kombinasi postingan Limbuk yang lucu dan Sarkas Puisi Mbilung yang pedas itu meledak di jagat maya. Dalam semalam, viral. Dua minggu kemudian, tagar #MbilungPahlawan #KeputrenGeger dan #SaveLimbuk bertengger di puncak trending topic nasional. Seisi kerajaan Amarta heboh. Dari rakyat jelata hingga para adipati, semua membicarakan "kasus Limbuk dan Mbilung".

Dan siang ini, petir menyambar. Pukul sebelas siang, titah Baginda Raja Amarta turun: beliau akan melakukan kunjungan mendadak ke Keputren. Alasannya? "Meninjau langsung kondisi moral dan etika para penghuni Keputren pasca insiden jagat maya."

Gupuh! Itulah satu kata yang mampu menggambarkan suasana Keputren saat itu. Para punggawa, khususnya para inang pengasuh dan abdi dalem senior, kebingungan setengah mati. Wajah-wajah yang biasanya tenang kini pucat pasi, seperti baru bertemu genderuwo. Teriakan perintah bersahutan, saking paniknya sampai ada yang salah arah. "Bersihkan kolam bunga! Jangan lupa taburi melati! Eh, itu kolam ikan, bukan kolam bunga!"

"Sembunyikan semua gawai!" perintah Nyai Ronggo, kepala abdi dalem Keputren, dengan suara melengking. "Tidak boleh ada satu pun yang terlihat! Kalau ketahuan, kalian tahu sendiri akibatnya! Pokoknya, kita harus tampil sempurna, seolah tak ada masalah. Toh, selama ini, pencitraan adalah segalanya, kan?"

Dayang-dayang yang tadinya asyik berswafoto di sudut taman, mendadak lari tunggang langgang menyembunyikan ponsel pintar mereka di balik vas bunga atau di bawah tumpukan kain batik. Buku-buku sastra klasik yang biasanya hanya jadi pajangan, kini mendadak dibaca dengan muka serius, pura-pura mendalami ilmu. Obrolan santai yang biasa mereka lakukan di beranda, kini diganti bisikan-bisikan tertahan.

"Jangan ada yang tertawa terbahak-bahak!" teriak salah satu inang. "Ingat, senyum secukupnya, menunduk anggun! Jangan sampai ada yang bergosip di serambi! Anggap saja Raja sedang inspeksi mendadak ke 'pabrik' pencetak bidadari yang sempurna."

Yang lebih parah, tiba-tiba muncul aturan-aturan dadakan yang terasa janggal dan belum pernah ada sebelumnya. Para dayang dilarang mengenakan kebaya berwarna cerah. "Warna-warna mencolok itu mengganggu konsentrasi, katanya. Padahal, mungkin cuma takut kebaya kami lebih blink-blink dari perhiasan mereka," bisik salah satu dayang. Rambut harus disanggul rapi tanpa sehelai pun anak rambut yang lepas. Bahkan, cara berjalan pun diatur ulang. "Langkah harus seirama, tidak boleh terlalu cepat, apalagi berlari! Ingat, kalian adalah representasi keanggunan Amarta! Seolah-olah, performa kita di depan raja lebih penting daripada kesejahteraan kita sendiri."

Di tengah kegupuhan itu, perilaku para punggawa pun berubah drastis. Ki Lurah Semar, yang biasanya hanya sibuk mengurus administrasi dan sesekali melontarkan nasihat bijak, tiba-tiba menjadi sangat perhatian. Ia berkeliling, menanyakan kabar setiap dayang, bahkan menawarkan bantuan untuk merapikan sanggul. "Sudah sarapan, Nduk? Jangan sampai sakit lho, nanti Baginda Raja khawatir," ujarnya dengan nada yang tak biasa lembut.

Sebaliknya, Patih Gandamana, yang terkenal tegas dan berwibawa, tiba-tiba menjadi galak dan mudah meledak. Setiap kesalahan kecil, seperti dayang yang lupa menunduk saat berpapasan, langsung disambut bentakan. "Apa-apaan ini?! Kalian pikir ini pasar?! Jaga sikap kalian! Nama baik Keputren dipertaruhkan!" raungnya, membuat para dayang gemetar.

Sementara itu, Nyai Gareng, yang selama ini dikenal sebagai punggawa paling pelit senyum dan kaku, tiba-tiba menjadi baik dan murah hati. Ia bahkan membagikan jajanan pasar yang dibelinya sendiri kepada para dayang, sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. "Ambil saja, Nduk. Jangan sungkan. Kalian pasti lelah," katanya sambil tersenyum canggung.

Pemandangan sehari-hari yang biasa, seperti dayang-dayang bercanda di taman, atau abdi dalem yang bersenandung lirih sambil menyapu, kini terasa aneh dan penuh kepalsuan. Suasana yang biasanya hangat dan akrab, mendadak membeku dalam ketegangan. Setiap pasang mata saling mengawasi, takut ada yang salah langkah dan memperburuk situasi.

"Dulu, likes Instagram itu cuma angka kosong. Sekarang, likes itu bisa jadi penentu nasib. Luar biasa memang kekuatan jari jempol di zaman sekarang," gumam seorang punggawa yang tadinya menganggap remeh fenomena media sosial.

Limbuk dan Mbilung? Mereka bersembunyi di balik tumpukan kain, berharap Baginda Raja lupa dengan "kasus" mereka. Namun, mereka tahu, karma medsos itu nyata. Dan pagi ini, karma itu datang dalam wujud kunjungan Raja Amarta yang tak terduga, mengubah Keputren yang tenang menjadi sarang kegupuhan dan kepalsuan demi menjaga nama baik yang mendadak terasa begitu rapuh di mata publik, yang sebenarnya sudah lama dikritik Mbilung dari balik layar.

Senja merangkak naik, menyelimuti Keputren dengan bayang-bayang panjang. Kunjungan Baginda Raja telah usai, meninggalkan jejak ketegangan yang belum sepenuhnya sirna. Meskipun sang raja tak menunjukkan kemarahan yang berarti, hanya tatapan tajam yang penuh makna, para punggawa tahu, pesan itu jelas: era telah berubah. Dinding Keputren kini tak lagi cukup tinggi untuk membendung gelombang informasi dari luar. Media sosial telah membuktikan kekuatannya, menelanjangi kepura-puraan, dan menuntut akuntabilitas, bahkan dari istana sekalipun. Limbuk dan Mbilung mungkin akan mendapat hukuman, tetapi gelombang kesadaran yang mereka ciptakan telah mengukir babak baru dalam sejarah Keputren. Sebuah babak di mana tradisi harus beradaptasi, dan "gupuh" akibat viralitas media sosial bisa jadi lebih menakutkan daripada ancaman musuh dari luar tembok istana.

 

 

Admin usudo.id

Tulisan di Blog ini adalah Kumpulan Tulisan saya , baik yang pernah dipublikasikan di Media Online maupun yang saya upload hanya di sini

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama