Ketika Melati Menebar Aroma Kematian

Ketika Melati Menebar Arima Kematian. 

Tiga hari sebelum hari yang dinanti, Citra berdiri di depan cermin besar, membiarkan kebaya brokat putih gading memeluk tubuhnya dengan sempurna. Setiap jahitan terasa pas, setiap lipatan kain jatuh anggun hingga menyapu lantai, seolah gaun itu diciptakan hanya untuknya. Wajahnya, yang biasa disebut sebagai perpaduan langka antara keteduhan dan pesona, kini semakin bersinar di bawah tata rias yang lembut. Sebuah kecantikan paripurna yang tak hanya memukau mata, tetapi juga menenangkan jiwa. Di tangannya, sehelai bunga melati segar terasa begitu wangi, membuai, seolah mengukuhkan janji kebahagiaan yang akan tiba. Sejak kecil, ia selalu membayangkan hari pernikahannya sebagai puncak kebahagiaan, sebuah lembaran baru yang bersih dan tanpa noda. Kini, impian itu berada di ambang kenyataan. Hatinya dipenuhi rasa tidak sabar, ingin segera tiba di hari itu, merasakan setiap detiknya. Tak ada keraguan, tak ada kegelisahan, hanya antusiasme murni yang membuncah. Ibunya sering kali tersenyum hangat melihat binar di mata Citra yang tak pernah pudar, seolah menyaksikan mahakarya yang siap dipamerkan.

Di sisi lain kota, Raka juga merasakan gelora yang sama. Pria itu, pewaris tunggal keluarga terpandang, memiliki segala yang dunia bisa tawarkan: paras rupawan, pendidikan tinggi, dan masa depan yang terbentang cerah. Ia adalah gambaran sempurna seorang menantu idaman, calon suami yang akan melengkapi kecantikan Citra. Di hari-hari menjelang pernikahan, senyumnya tak pernah lepas. Ia membayangkan hidup baru yang akan dibangunnya bersama Citra, penuh tawa, cinta, dan kebahagiaan yang tak bertepi. Seluruh alam semesta seolah berkonspirasi untuk merayakan penyatuan dua insan yang tampak begitu serasi dan tanpa cela.

Akhirnya, tibalah hari itu.

Pernikahan Raka dan Citra seharusnya menjadi lambang kesempurnaan, sebuah mahakarya yang telah dipersiapkan dengan cermat. Setiap detail, dari dekorasi aula yang megah berhias untaian melati hingga hidangan yang berlimpah, semua mencerminkan status dua keluarga terpandang yang kini bersatu. Citra, dalam balutan kebaya brokat putih gading yang memesona dan riasan paes Jawa yang anggun, bak putri dari dongeng lama. Di sampingnya, Raka berdiri gagah dalam beskap hitamnya, pandangannya tak pernah lepas dari Citra, seolah ia adalah satu-satunya bintang di antara gemintang yang bertaburan.

Upacara pernikahan telah berlangsung lancar, penuh senyum dan restu yang mengalir dari para tamu kehormatan. Kini, tibalah prosesi ngunduh mantu, sebuah tahapan yang lebih dari sekadar perayaan. Ini adalah penyatuan dua jiwa, dua garis keturunan, di hadapan seluruh saksi dan leluhur. Aroma melati yang semerbak, berpadu dengan wangi dupa dan keharuman masakan, menyelimuti aula, menciptakan suasana magis yang seharusnya menenangkan jiwa. Gamelan mengalun merdu, mengiringi setiap langkah prosesi yang sarat makna, mengisi udara dengan kebahagiaan yang melenakan.

Momen sungkem pun tiba, puncak dari rasa hormat dan penerimaan. Raka, dengan penuh takzim, berlutut di hadapan ayah kandungnya. Sorot mata bangga tergambar jelas di wajah sang ayah, seorang pria terhormat yang disegani, pemilik sebagian besar lahan perkebunan di wilayah itu. Citra berdiri tak jauh di belakang Raka, tangannya mengatup di dada, hatinya diliputi haru. Ini adalah awal dari kehidupannya yang baru, lembaran suci yang akan ia tulis bersama Raka, sebuah masa depan yang terasa begitu pasti.

Namun, di tengah khidmatnya prosesi itu, di antara lipatan kain batik mahal dan gemerlap perhiasan, sesuatu yang kecil namun fatal terjadi. Sebuah amplop putih, seolah memiliki kehendak sendiri, tiba-tiba meluncur dari saku jas ayah Raka. Jatuhnya tidak bergemuruh, namun suara pelannya cukup untuk menembus alunan gamelan dan menarik perhatian Citra. Amplop itu terbuka saat menyentuh lantai marmer yang dingin, memperlihatkan beberapa lembar foto lama yang buram. Secara naluriah, Citra melangkah maju, tangannya terulur dan memungut benda-benda usang itu.

Seketika, senyum di wajah Citra memudar. Jemarinya gemetar saat ia membolak-balik lembaran foto itu satu per satu. Matanya terpaku pada sebuah wajah, wajah yang sangat ia kenali, di samping ayah Raka. Wajah seorang wanita yang seharusnya tak mungkin berada di sana, di masa lalu ayah Raka. Sebuah rahasia gelap, yang entah bagaimana telah terkubur puluhan tahun, kini terbongkar di hari paling sakral, di hadapan mata seluruh keluarga.

Gamelan tiba-tiba terdengar sumbang, seolah instrumen-instrumen itu ikut merasakan disonansi yang menghantam hati Citra. Kebahagiaan yang dibangun di atas kebohongan itu runtuh seketika. Citra tidak berteriak, tidak menangis, seolah semua rasa telah lenyap. Ia hanya memandang foto-foto buram itu, lalu menatap kosong ke arah Raka yang masih berlutut di hadapan ayahnya, yang wajahnya kini sepucat kain kafan. Mata Citra, yang tadinya penuh cinta, kini adalah dua lubang hitam tak berdasar, menelan seluruh cahaya dan suara dari aula. Ia hanya berdiri di sana, seperti patung, sementara kerumunan di sekelilingnya mulai berbisik, lalu terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja mereka saksikan.

Malam itu, tak ada yang tahu persis apa yang mereka saksikan. Namun, di balik dinding-dinding aula yang megah, sebuah jurang telah terbuka, menelan setiap janji dan harapan, menyisakan kekosongan yang dingin di hari yang seharusnya paling bahagia.




________________________________
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ketika Melati Menebar Aroma Kematian", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/agus55303/68577270c925c44b8e090f72/ketika-melati-menebar-aroma-kematian

Admin usudo.id

Tulisan di Blog ini adalah Kumpulan Tulisan saya , baik yang pernah dipublikasikan di Media Online maupun yang saya upload hanya di sini

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama