![]() |
Ilustrasi ; Topeng Paling Nyata. Dok. Pribadi. |
Di antara jutaan wajah yang berlalu lalang di kota ini, ada wajah-wajah yang sengaja diciptakan. Wajah-wajah yang disepuh dengan senyum panggung, sorot mata penuh semangat, dan anggukan kepala yang takzim. Mereka adalah para badut modern, bukan di sirkus, melainkan di labirin gedung-gedung perkantoran, di balik meja-meja birokrasi, atau di balik etalase toko. Tugas mereka sama: menghibur, melayani, dan tak pernah menunjukkan celah. Mereka adalah kaum honorer, penopang yang tak terlihat, pemeran figuran yang menggerakkan roda cerita, tanpa pernah menjadi lakon utama. Dan setiap pagi, dengan kesadaran penuh, mereka mengenakan topengnya.
Sejak fajar menyingsing, ia
telah mengenakan topengnya. Bukan riasan tebal badut, melainkan senyum tipis
yang tak pernah pudar, tatapan mata yang selalu bersemangat, dan anggukan
kepala yang tak pernah berhenti. Seragamnya yang sedikit usang terasa pas, seolah
diciptakan untuk menyamarkan lelah yang menumpuk di punggungnya. Kantor itu
adalah panggungnya. Di sana, ia adalah petugas yang siap membantu, rekan kerja
yang selalu ceria, dan karyawan yang tak pernah mengeluh. Setiap ketikan
keyboard adalah irama dari pertunjukan yang tak boleh salah nada. Setiap
tumpukan berkas yang berpindah tangan adalah koreografi sempurna yang tak boleh
cacat. Ia melayani dengan sigap, menyapa dengan ramah, dan menyelesaikan tugas
seolah beban di bahunya tak pernah ada.
Suatu pagi yang dingin,
ketika jari-jemarinya kaku memegang pena, perang batin itu pecah. Sebuah ide
brilian muncul di benaknya untuk mengatasi masalah sistem yang kerap
menghambat. Ia bisa menghemat waktu, mengurangi tumpukan pekerjaan, bahkan
meningkatkan efisiensi instansi. Jantungnya berdebar, bukan karena takut,
melainkan karena gejolak harapan. Ini bisa jadi terobosan, kesempatan untuk
diakui, untuk merasa berarti lebih dari sekadar angka dalam daftar honorer.
Namun, bisikan lain datang,
lebih tajam dari angin pagi. "Ingat posisimu," kata suara itu,
"Kau hanya honorer. Terlalu banyak inisiatif hanya akan membuatmu dianggap
sombong, atau lebih buruk, mengancam." Sebuah bayangan melintas di benaknya:
tatapan sinis, desas-desus di belakang punggung, atau surat pemutusan kontrak
yang tiba-tiba. Ingatan tentang teman-teman yang "hilang" karena
terlalu vokal memukulnya telak. Mereka adalah pengingat betapa tipisnya garis
antara keberanian dan kebodohan di dunia honorer.
Nalarnya berteriak untuk
menyerah pada bisikan itu, untuk menenggelamkan ide brilian itu jauh di lubuk
hati. Tapi jiwanya berontak. Bukankah ia punya hak untuk menyumbangkan pikiran?
Bukankah pekerjaannya seharusnya lebih dari sekadar robot yang menuruti
perintah? Dalam keheningan mejanya, perang itu berkecamuk. Antara ingin menjadi
pahlawan bagi diri sendiri dan keharusan untuk tetap menjadi bayangan. Antara
harga diri dan kelangsungan hidup. Dan setiap kali, pada akhirnya, topeng
adalah jalan yang harus dia ambil. Senyum tipisnya mengeras, jari-jemarinya
kembali mengetik, menyelesaikan tugas rutin yang tak menuntut pikiran. Ide itu,
secerah bintang pagi, kini terkunci dalam peti besi di dasar jiwanya.
Pernah, suatu siang yang
terik, sebuah amplop putih tergeletak di mejanya. Bukan surat cinta, melainkan
pengumuman perpanjangan kontrak yang belum tentu datang. Perutnya bergejolak,
keringat dingin membasahi telapak tangannya. Namun, topeng itu tetap menempel
erat. Ia tersenyum pada rekan di sampingnya, meraih amplop itu seolah tak ada
apa-apa, dan meneruskan pekerjaan. Di balik senyum itu, ketakutan menari-nari
seperti bayangan di dinding gua.
Malam hari, setelah jam kerja
usai, topeng itu perlahan melonggar. Di angkutan umum yang padat, tatapan
matanya kosong, menerawang jauh menembus kaca jendela yang buram. Punggungnya
terasa nyeri, otaknya dipenuhi daftar kekhawatiran yang tak ada habisnya. Di
depan cermin di kamarnya yang sempit, ia melihat pantulan wajah yang asing. Ada
kerutan halus di sudut mata, jejak tawa palsu yang terlalu sering dipaksakan.
Hujan seringkali menjadi saksi bisu. Rintiknya membasahi jalanan, menyamarkan
air mata yang mungkin menetes diam-diam. Di bawah payung lusuh, ia berjalan
pulang, menyusuri gang-gang sepi. Di sanalah, dalam keheningan yang basah, ia
boleh sejenak menjadi dirinya sendiri: seorang manusia biasa yang lelah, yang
takut, yang berharap. Namun, esok pagi, ketika alarm berdering, topeng itu akan
kembali dipasang. Senyum akan kembali terkembang, dan ia akan kembali ke
panggungnya, memainkan peran sang penghibur yang tak pernah mengeluh, demi
selembar kertas yang menjanjikan kelangsungan hidup.
Setiap hari yang berlalu,
setiap senyum palsu yang terukir, setiap ide yang terkubur, mengukir jejak tak
terlihat di dalam diri. Topeng itu, yang awalnya hanya sebuah alat, kini
perlahan menyatu dengan kulit. Ia mungkin tak pernah menjadi lakon utama, tak
pernah memegang kendali atas naskahnya sendiri, namun ia adalah bukti nyata
dari sebuah perjuangan yang sunyi. Perjuangan untuk bertahan, untuk tetap
waras, di tengah tuntutan peran yang mengikis jiwa. Sebuah kisah tentang
ketahanan yang menyayat, tentang pilihan-pilihan pahit yang harus diambil demi
kelangsungan hidup, dan tentang bagaimana terkadang, satu-satunya cara untuk
terus melangkah adalah dengan terus memakai topeng. Ini adalah kisah yang ada
di setiap sudut kota, di balik setiap meja, kisah tentang kita. Dan
bertanya-tanya, sampai kapan topeng itu akan terus menempel erat?
________________________________
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Topeng Paling Nyata, Kisah Dari Yang Tak Pernah Terlihat", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/agus55303/68574a18ed641511e663eba2/topeng-paling-nyata-kisah-dari-yang-tak-pernah-terlihat