![]() |
Pak Djati : Sang penjaga Waktu. Dok. Pribadi. |
Udara di Perpustakaan Pustaka Kawi selalu beraroma serupa:
perpaduan debu tipis yang menari dalam bias cahaya matahari pagi, wangi kertas
lapuk yang berusia abad, dan sisa bau kemenyan dari ritual pembersihan pustaka
yang dilakukan entah kapan terakhir kali. Pak Djati, dengan baju batik lusuh
yang selalu ia kenakan, menghela napas panjang saat membuka pintu kayu yang
berderit. Pukul delapan pagi. Sama seperti kemarin. Sama seperti besok.
Selama hampir empat puluh lima tahun, ia telah menjadi
penjaga setia harta karun ini. Di sekelilingnya, rak-rak kayu yang menjulang
tinggi memuat ribuan buku dan gulungan serat bertuliskan aksara-aksara kuno:
Jawa, Kawi, Sunda Kuno. Semua adalah saksi bisu peradaban yang telah lewat,
bisikan dari masa lalu yang kini terasa begitu asing bagi dunia di luar sana.
Pak Djati merasa hidupnya tak ubahnya salah satu serat di sana---terjaga, utuh,
namun jarang dibuka, bahkan mungkin tak lagi dipahami. Ia merasa jalan di
tempat, terikat pada jejak-jejak masa lalu yang tak pernah usai.
Pengunjung Perpustakaan Pustaka Kawi bagaikan tetesan embun
di musim kemarau: sangat jarang. Kalaupun ada, biasanya hanya beberapa peneliti
dari universitas yang mencari referensi langka tentang sejarah kerajaan, atau
mahasiswa yang terpaksa, dengan wajah muram dan napas tertahan saat berhadapan
dengan tumpukan naskah berhalaman kuning, berbau apek, dan berhuruf aneh.
"Sulit dibaca, Pak," keluh mereka suatu waktu. "Terlalu
kuno." Pak Djati hanya tersenyum tipis, memahami kejengahan itu. Ia
sendiri terkadang merasa jenuh. Setiap hari, ia menata ulang gulungan yang
sama, membersihkan debu dari sampul yang sama, mendengar keheningan yang sama.
Namun, suatu sore yang lembap, di antara tumpukan serat
koleksi Sultan Agungan di rak paling pojok, tangan Pak Djati menemukan sesuatu
yang berbeda. Sebuah gulungan naskah. Bukan dari kertas, melainkan lembaran
kulit yang terasa dingin dan luwes di jemarinya. Gulungan itu polos, tanpa
judul, seolah tak pernah dimaksudkan untuk ditemukan. Rasa ingin tahu
mengalahkan kebiasaannya. Perlahan, ia membuka gulungan itu di bawah cahaya
lampu temaram.
Anehnya, lembaran kulit itu kosong dari tulisan. Namun, saat
ia memusatkan pandangan, sebuah kilasan bayangan muncul. Bukan pantulan
dirinya, melainkan siluet-siluet bergerak. Sebuah tangan gemetar yang
menuliskan baris-baris puisi di bawah cahaya obor, seolah Pak Djati bisa
merasakan ketegangan otot-otot si penulis. Seorang abdi dalem yang bersembunyi
di balik tiang, diam-diam membaca sebuah wejangan moral dari naskah lontar yang
sama persis ada di rak perpustakaan ini. Kemudian, kilasan wajah seorang gadis
muda, dengan jari lentik yang merapikan tumpukan serat, senyum tipis di
bibirnya seolah ia menemukan rahasia dunia di antara aksara-aksara itu.
Jantung Pak Djati berdebar. Gulungan naskah ini adalah
penjaga ingatan, sebuah portal. Ia mulai menghabiskan malam-malamnya dengan
gulungan itu, setelah pintu perpustakaan terkunci dan keheningan sempurna
menyelimuti. Ia melihat seorang senopati di medan perang, membawa serat berisi
mantra pelindung yang kini tergeletak kaku di salah satu lemari. Ia melihat
seniman wayang yang membaca pakem lakon dari naskah tua yang sama. Ia merasakan
kesedihan seorang ibu yang menemukan ketenangan dalam hikayat keagamaan yang ia
pegang.
Perasaan "jalan di tempat" yang membelenggunya
perlahan sirna. Ia menyadari bahwa perpustakaan ini bukan kuburan masa lalu,
melainkan denyut nadi kehidupan yang terus mengalir. Setiap serat, setiap
aksara yang memudar, setiap noda tinta yang mengering, adalah jejak vital dari
jiwa-jiwa yang pernah ada. Perannya bukan hanya menjaga benda mati, melainkan
menjaga api pengetahuan, emosi, dan spiritualitas yang terkandung dalam setiap
lembar. Ia adalah penjaga gerbang waktu, sebuah jembatan antara mereka yang telah
pergi dan mereka yang akan datang.
![]() |
Menunggu dalam Sunyi : Dok. Pribadi |
Suatu pagi, seorang mahasiswa datang dengan wajah frustrasi. "Pak Djati, saya butuh referensi tentang filosofi Jawa abad ke-17. Semua bukunya terlalu berat, saya tidak paham." Pak Djati tersenyum. Ia menuntun mahasiswa itu ke rak, mengambil sebuah serat yang baru semalam ia "baca" melalui gulungan misteriusnya---serat yang menyimpan kisah seorang filsuf yang berjuang memahami kematian anaknya.
"Coba ini, Nak," kata Pak Djati lembut. "Ini
bukan sekadar tulisan. Ini kisah tentang seorang ayah yang mencari makna hidup
setelah kehilangan. Kadang, untuk memahami filosofi, kita harus memahami
mengapa filosofi itu ada." Mahasiswa itu mengambil serat dengan ragu,
namun ada sesuatu dalam sorot mata Pak Djati yang membuatnya mencoba. Sore itu,
saat mahasiswa itu kembali, wajahnya berbeda. Ada kelegaan dan pemahaman yang
dalam. "Terima kasih, Pak Djati. Saya... saya merasa seperti mengenal
penulisnya."
Pak Djati mengangguk. Ia tidak menceritakan tentang gulungan
naskah ajaib itu. Namun, ia mulai menambahkan catatan-catatan kecil di pinggir
buku harian pribadinya, yang ia tulis dengan gaya penulisan kuno, menyerupai
serat. Ia menuliskan fragmen-fragmen kehidupan yang ia saksikan, memberikan
suara pada bisikan-bisikan masa lalu yang kini ia pahami. Ia mulai melihat
setiap pengunjung sebagai bagian dari jaringan waktu yang ia jaga, dan setiap
buku sebagai wadah yang jauh lebih besar dari sekadar kumpulan kertas.
Tahun-tahun berlalu, dan Pak Djati tetap setia di
Perpustakaan Pustaka Kawi. Rambutnya kian memutih, punggungnya sedikit
membungkuk, namun matanya memancarkan cahaya yang berbeda---cahaya
kebijaksanaan dan pemahaman. Ia tak lagi merasa "jalan di tempat."
Sebaliknya, ia merasa menjadi bagian dari perputaran abadi, sebuah poros yang mengikat
masa lalu dengan masa depan.
Ketika ia akhirnya meninggal dengan tenang di antara buku-buku yang dicintainya, tepat di samping meja tempat ia menemukan gulungan naskah ajaib itu, sebuah jurnal bersampul kulit ditemukan di laci mejanya. Di dalamnya, tertulis dengan aksara yang rapi, ada ratusan cerita yang tak pernah diterbitkan, tentang kehidupan orang-orang yang tak dikenal, namun terhubung oleh benang tak kasat mata bernama waktu dan aksara. Gulungan naskah ajaib itu, setelah kematiannya, seolah menghilang, kembali ke tempat asalnya, menunggu penjaga waktu berikutnya. Namun, warisan Pak Djati tetap ada, dalam setiap buku yang kini seolah berbisik, menunggu pembaca berikutnya untuk menemukan kisahnya, dan memahami bahwa bahkan dalam keheningan yang paling pekat, kehidupan terus berputar.
________________________________
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Serat Penjaga Waktu", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/agus55303/6856a2f3ed64155eb92c96a2/serat-penjaga-waktu?page=all#goog_rewarded